Selasa, 16 Februari 2010

REGISTE PERKARA

REGISTER PERKARA
Register berasal dari kata registrum, yang berarti buku yang memuat secara lengkap dan terinci mengenai suatu hal atau perkara baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat umum, seperti register perkara, register catatan sipil atau lain-lain (Musthofa,Sy:2005). Menurut Bryan A. Games, register diartikan a book in which all docket entries are kept for the various cases pending in a court yaitu sebuah buku yan didalamnya memuat catatan-catatan mengenai berbagai perkara/kasus yang di tangani di suatu pengadilan.
Administrasi perkara adalah bagian dari Court of Law yang harus dilaksanakan oleh semua aparat peradilan. Untuk itu semua aparat peradilan dituntut agar memahaminya dengan baik sehingga proses penyelenggaraan peradilan berjalan dengan baik pula, dan apa yang diharapkan sebagai peradilan yang berwibawa, terhormat dan dihormati itu terwujud dalam kenyataan bukan hanya dalam impian dan khayalan.
Dalam Pola Bindalmin kita mengenal beberapa pola yang harus dipedomani untuk lancarnya peroses jalannya peradilan. Disana ada pola prosedur penyelenggaraan adimistrasi perkara, pola register perkara, pola keuangan perkara, dan pola kearsipan perkara. Semuanya telah terurai dengan jelas dan sistematis.
a. Meja Pertama
Perlawanan berupa verzet tidak diberi nomor baru, nomor yang dipakai adalah nomor perkara asal. Berbeda dengan perlawanan darden verzet atau perlawaan pihak ketiga dicatat dengan nomor baru dan sebagai perkara baru.
Pelaksanaan tugas Meja Pertama di beberapa PA belum diberdayakan secara maksimal, karena ada sementara Pejabat yang seharusnya tidak menangani tugas Meja Pertama, ikut-ikutan menanganinya seperti halnya penanganan perkara baru, perkara banding, dan perkara kasasi.
Pelaksana tugas Meja Pertama sering mengaku tidak diberi petunjuk yang cukup oleh atasannya, sehingga tidak mengerti dengan benar tugas dan pekerjaannya. Kemungkinan lain petugas itu enggan bertanya karena merasa sudah mengerti, padahal tidak memahaminya secara benar.
b. Buku-buku Register
• Tidak ada petunjuk untuk semua buku register harus dibuka pada setiap buku oleh Ketua PA dengan menyebut jumlah halaman pada buku tersebut dan memberi nomor halaman pada setiap lembar, serta membubuhkan tanda-tangan pada halaman awal dan halaman akhir dan membubuhkan paraf pada halaman selebihnya, seperti halnya pada Buku Jurnal dan Buku Induk Keuangan Perkara.
• Penomoran halaman juga tidak ada petunjuk dalam Pola Bindalmin, karenanya hal ini perlu dibahas pada kesempatan ini untuk keseragaman bagi semua PA dalam wilayah yurisdiksi.
• Penulisan buku-buku register sudah seharusnya menggunakan tinta yang sama (yang sebaiknya warna hitam) sejak dari halaman awal sampai akhir, sehingga terlihat kerapian dan kebersihan buku secara estetis.
• Penulisan petitum dan amar putusan yang panjang, harus dirangkap dengan kertas tambahan yang panjangnya hanya seukuran panjang regester dan selebar kolom yang tersedia, bila tidak cukup ditempatkan lagi kertas seukuran tersebut di atasnya dan seterusnya. Semuanya ditempatkan pada bagian atas bukan disambung dari bagian bawah. Penulisan buku regester harus dihindari dari kesalahan. Bila terjadi juga kesalahan penulisan, hindari dari penggunaan type-x (re type), tetapi kesalahan penulisan itu harus dicoret sekali coretan saja dan ditulis kata atau kalimat yang betul diatasnya atau dibawahnya atau di bagian yang memungkinkan kemudian diparaf.
• Karyawan yang ditunjuk untuk menulis buku-buku register diusahakan yang memiliki tulisan baik dan tulisannya mudah dibaca. Selain tulisan baik, juga yang paling penting teliti dan tekun.
• Petugas buku regester harus mencatat semua peristiwa pada saat terjadinya peristiwa tersebut, tidak perlu menunggu selesai semua rangkaian peristiwa, baru dicatat.
• Kepaniteraan wajib menyiapkan semua instrument yang berkenaan dengan proses perkara sejak didaftar hingga putus dan pelaksanaan putusan.
• Para hakim, penitera sidang, petugas-petugas meja, juru sita wajib mengaktifkan diri dalam melaksanakan tugas pengisian instrument dan menyerahkan kepada yang berhak menerimanya.
Sejak awal tahun ini semua kelengkapan buku register sudah tersedia. Perhatikan regester yang tidak banyak digunakan seperti buku register kasasi, banding dan peninjauan kembali untuk pengadaannya! Berdasarkan pengalaman tahun 2006. ada Pengadilan Agama yang belum menyiapkan buku regester secara lengkap, padahal sudah bulan ke 5 tahun bersangkutan. Kewajiban bagi Pimpinan Pengadilan atau atasan langsung petugas buku untuk memeriksa hasil pencatatan petugas buku register, sehingga petugas buku regester merasa diperhatikan dan diawasi. Jangan biarkan dia bekerja semaunya sendiri tanpa motifasi apapun. Karena tidak diperiksa, mungkin dia tidak mengerti apakah pekerjaannya benar atau salah.
2. Macam-macam register perkara
1. Register Induk Pekara Gugatan/ Pemohonan
Buku Register Induk perkara gugatan/permohonan ditutup setiap bulan, Nomor urut surat setiap bulan dimulaidari nomor 1, sedangkan nomor perkara berlanjut untuk satu tahun.
Hindari dengan sangat, perbedaan penulisan amar putusan antara asli putusan dan salinan putusan dengan amar putusan yang tertulis pada Buku Register. Hindari kesalahan dalam penulisan kode tanggal penundaan sidang dan alasan penundaaan sidang. Seharusnya kode c. diberikan untuk tanggal dan kode d. untuk alasan. Keduanya selalu ditulis berulang-ulang sepanjang ada penundaan. (kolom 7)
Keterangan lain-lain harus mencerminkan adanya keterkaitan dengan perkara tersebut seperti Penggugat atau Tergugat tidak hadir pada sidang terakhir, hal ini berkaitan dengan kekuatan hukum tetap atau penyampaian isi putusan.
2. Buku Register Banding/ Kasasi
Buku Register permohonan Banding/kasasi ditutup setiap akhir tahun dengan rekapitulasi sebagai berikut :
a. Sisa tahun lalu : ……………….Perkara
b. Masuk tahun ini : ……………….perkara
c. Putus tahun ini : ……………….perkara
d. Sisa akhir tahun : ……………….perkara
(1) Sudah dikirim : ……………….perkara
(2) Belum dikirim : ……………….perkara
Hindari perkara banding dan kasasi tertahan lama di Pengadilan Agama. Ada beberapa perkara banding di Pengadilan Agama belum dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama dan tertahan di pengadilan tersebut antara lima(5) sampai sepuluh (10) bulan. Juga ditemukan beberapa perkara kasasi yang terdaftar pada bulan April, Juni, Juli, Agustus, dan Oktober belum dikirim ke Mahkamah Agung. Malahan ada perkara kasasi yang terdaftar pada tanggal 5 Nopember 2004 sampai dengan tanggal 20 Desember 2006 belum dikirim ke Mahkamah Agung. Mungkin hal ini tidak termonitor oleh Ketua dan Wakil Ketua. Sebenarnya bila keterlambatan itu dikarenakan oleh adanya masalah teknis yang menyangkut hukum, seyogyanya ditanyakan solusinya kepada PTA.
Mulai tahun 2007 ini sama-sama kita mengantisipasi kejadian serupa, agar tidak terulang lagi. Pengadilan Tinggi Agama perlu mendapat laporan dari Pengadilan Pertama bila ada perkara banding dan kasasi yang sudah mencapai tiga (3) bulan belum dikirim kepada Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung.
Di Pengadilan Banding, harus ada seorang petugas untuk memonitor perkara banding dan kasasi dengan diberi kelengkapan alat monitoring tersebut berupa Buku Bantu Khusus.

3. Register permohonan Peninjauan kembali
4. Register Surat Kuasa khusus
No Insidentil/Praktek/Advokat Tanggal Pendaftaran Nama penerima dan pemberi kuasa Nomor Perkara Nama para pihak-pihak ket
1 2 3 4 5 6 7
1

2 Advokat
Catatan :
• Biaya pendaftaran Surat Kuasa Khusus (E.14) per akta Rp. 5000.-
• Biaya pendaftaran Surat kuasa khusus dibukukan oleh kasir kedalam hak-hak kepaniteraa lainnya (E.14)

5. Register Penyitaan Barang tidak bergerak
No Insidentil/Praktek/Advokat Nomor perkara Nama Pihak-pihak Tanggal penetapan sita Jens penyitaan Tangal pelaksanaan sita Barang sitaan Penyimpanan barang sitaan ket
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1

advokat 117/pdt.G/…… Ani
Ana
27-07-2008 CB 28-07-2008 Mobil Kantor lurah Ali, JSP PA..
Catatan :
• Hak kepaniteraan penyitaan barang tidak bergerak (E.6) Per-penetapan Rp. 25.000.-
• Biaya Penyitaan (E.6) dibukukan oleh kasir dalam buku hak-hak kepaniteran lainnya

6. Register Penyitaan barang bergerak
No Nomor perkara Nama Pihak-pihak Tanggal penetapan sita Jens penyitaan Tangal pelaksanaan sita Barang sitaan Penyimpanan barang sitaan ket
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1

117/pdt.G/…… Ani
Ana
27-07-2008 RV 29-07-2008 Kursi, Lemari, Pakaian

Kantor lurah Ahmad,JSP PA..
Catatan :
• Hak kepaniteraan penyitaan barang tidak bergerak (E.6) Per-penetapan Rp. 25.000.-
• Biaya Penyitaan (E.6) dibukukan oleh kasir dalam buku hak-hak kepaniteran lainnya

7. Register Eksekusi
No Tanggal pendaftaran Nama Pemohon, termohon Ket. Singkat gugatan Tanggal, Nomor putusan yang dimohon eksekusi Tanggal penetapan Eksekusi Nama Jurusita Tanggal Eksekusi Keter
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1

27-07-2008 Ani
Andi Harta bersama dibagi dua 14-07-08
117/pdt.G/… 28-07-08 Ali SH 05-08-08 Polres majalengka sebagai pengamanan
Catatan :
• Hak kepaniteraan penyitaan barang tidak bergerak (E.6) Per-penetapan Rp. 25.000.-
• Biaya Penyitaan (E.6) dibukukan oleh kasir dalam buku hak-hak kepaniteran lainnya

8. Buku Register Akta Cerai
Ada Pengadilan Agama yang tidak membuat berita acara tentang jumlah blangko Akta Cerai sisa tahun lalu, yang diterima tahun bersangkutan, yang rusak, yang digunakan dan yang tersisa pada setiap tahun. Berita acara tersebut kita harapkan berlaku untuk blanko sejak awal tahun 2006 dan tahun 2007.
Sering terjadi pembuatan Akta Cerai berdasarkan kemauan Panitera Pengganti dan Hakim. Berkas perkara masih ditangan mereka oleh sebab belum selesai pembuatan BAP dan putusan, padahal perkara sudah putus. Akibatnya pembuatan Akta Cerai berlarut-larut. Seharusnya pembuatan Akta Cerai dilaksanakan berdasarkan urut perkara yang putus dan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
9. Register Permohonan Pembagian Harta peninggalan di luar sengketa
No Nama dan tempat tinggal pemohon Tanggal pemohon Jenis harta Peninggalan Tanggal, Nomor dan isi akta Ket.
1 2 3 4 5 6
1.






Santi Nur Afifah 23-07-2008 Warisan 20-06-2008
Nomor :……
Harta Warisan dibagi kepada ahli waris dan seterusnya

Catatan :
• Biaya pendaftaran P3HP (E.10) Per putusan Berita Acara/putusan dengan tariff Rp. 5000.-
• Biaya atau Tarif (E.10) dibukukan oleh kasir dalam buku hak-hak kepaniteraan lainnya.

PEMBUKTIAN

PEMBUKTIAN

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata.
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.
Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.
 
A.    Pengertian Pembuktian/membuktikan
“Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
  1. Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
2.      Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai.
Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
3.      Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b) Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
c) Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d) Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e) Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
B. Alat-Alat Bukti
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu :
1. Surat-surat
2. Kesaksian
3. persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;
  1. Surat-Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).
Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
2.      Kesaksian
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.
Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.
Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
3.      Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.
Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4.      Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
5.      Sumpah
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed).
Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat “mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.
PENUTUP

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu :
1. Surat-surat
2. Kesaksian
3. persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah

DAFTAR PUSTAKA

  • R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII
  • R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2005, Cet. XXV
  • Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005, Cet. X
  • R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995
  • Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, Yogyakarta: Liberty, 2006, Cet. I