Senin, 28 September 2009

sareng rerencangan

detikcom : Berharap yang Baik Hapus yang Buruk

title : Berharap yang Baik Hapus yang Buruk
summary : Inter Milan dibayangi rekor buruk kala melawat ke Rubin Kazan midweek ini. Namun, Nerazzuri punya catatan bagus di tanah Rusia sana untuk menghapusnya. Apa saja itu? (read more)

Selasa, 15 September 2009

FIQH SIYASAH (RESUME)

FIQH SIYASAH

A. PENGERTIAN SIYASAH
Siyasah diambil dari kata sawasa, dikatakan juga bahwa siyasah diambil dari kata siyas yang artinya mengatur atau mengendalikan, mengurus, memelihara, menjaga dan melindungi.
Sedangkan menurut istilah adalah menegakan suatu perkara untuk memeperoleh maslahat dari upaya penegakan hokum tersebut.
• Menurut al qayim : siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasul tidak menetapkannya dan bahkan Allah SWT tidak menentukannya.
• Menururt kalangan ahlu kuffah : siyasah adalah suatu proses upaya perbaikan dalam berbagai soal kehidupan melalui cara-cara yang dibenarkan syari’ah.
• Menurut fuqaha : yang dinamakan siyasah adalah tindakan yang dilakukan untuk memeproleh kemaslahatan dengan tujuan memeperoleh kekuasaan duinai dan akhirat.

B. OBJEK KAJIAN FIQH SIYASAH
• siyasah dusituriyah, yaitu hokum yang mengatur hubungan antara warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara.
Didalamnya mencakup pengangkatan imam, hokum pengangkatan imam, syarat ahlu ahlwalahli, syarat imam pemberhentian imam, persoalan bai’ah persoalan hujaroh (kementrian).
• Siyasah Dauliyah (hubungan internasional), yaitu hokum yang mengatur antara waga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan Negara lain.
Didalamnya mencakup Hubungan waktu damai (politik, ekonomi, kebudayaan, kemasyarakatan) dan hubungan dalam waktu perang.
• Siyasah Maliyah, yaitu hokum yang mengatur tentang penasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara.

C. SIYASAH DUSTURIYAH
Ialah hubungan antara pemimpin di satu tempat atau wilayah dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada didalam masyrakatnya.
Oleh karena itu biasanya dibatasi hanya membahas persoalan pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemasyarakatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.
a. sumber-sumber fiqh dusturiyah
• al-qur’an, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-psrinsip kehidupan masyarakat.
• Al-hadits, terutama hadits-hadit yang berhubungan dengan imamah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasul SAW didalam menerapkan hokum di negeri Arab.
• Kebijakan-kebijakan Khulafau Rasyidin didalam mengendalikan pemerintahan, meskuipun mereka mempunyai perbedaan didalam gaya pemerinyahannya sesuai dengan pembawaan sifat dan wataknya masing-masing, tetapi ada kesamaan alur kebijakan yaitu Reorientasi.
• Ijtihad ulama didalam mencapai kemaslahtan umat, misalnya haruslah terjamin dan terpelihara dengan baik.
• Adat kebiasaan suatu bangsa, yang tidak beretentangan dengan prinsip-prinsip al-qur’an dan hadits. Ada kemungkinan adat kebiasaan semacam ini tidak tertulis yang disebut konversi.

D. IMAMAH
Menurut al-mawardi adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti tugas kerabian dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.
a. hak imam : hak dibantu, ditaati, dan mendapatkan imbalan.
b. Hak rakyat : hak persamaan. Hak diberlakukan secara adil, hak kebebasan berpikir, beraqidah, berpendapat, berbicara, berpendidikan dan memiliki tempat tinggal.

E. BAI’AT
Menurut ibnu khaldun adalah mereka apabila membai’atkan seseorang Amir danmengikatkan perjanjian. Mereka meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk mengikrarkan perjajnjian.
Bisa dikatakan, bai’at itu ketika ada atau ketika terjadi masalah yang berhubungan dengan pemerintahan kemudian membuat perjanjian untuk tidak mengulngi kaesalahn tersebut. Bai’at dilakukan oleh Ahlul ahli wa al-aqd.

F. AHL AL-AHL WA AL-AQD (PERWAKILAN)
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, bahwa ahl al-ahl wa al-aqd ialah :
1. pemegang kekuasaan yang mempunyai wewenang memilih dan membai’at imam.
2. mengarhkan masyarakat pada kemaslahatan.
3. mempunyai wewenang membuat undang-undang.
4. tempat konsultasi orang yang mempunyai keluhan tentang pemerintahan.
5. mengawasi jalannya pemerintahan.
Dari beberapa uraian para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ahl al-ahl wa al-aqd adalah sebuah pemegang kekuasaan tinggi dalam pemerintahan yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahannya itu juga berwenang dalam membuat undang-undang.
Menurut Abd kadir adalah :
1. Al-sultan Al-Tanjhidiyah (eksekutif)
2. Al-sultan Al-Tasyri’iyah (Legislatif)
3. Al-sultan Al-Qadha’iyah (Yudikatif)
4. Al-sultan Al-Maaliyah (bank sentral)
5. Al-sultan Al-Mu’raqabah (konsultatif)




G. WIZARAH
Wizarah berasal dari kata Al-wijru yang artinya beban. Maka dalam hal ini seorang wazir memikul beban pemerintahan yang harus di emban dari seorang imamah. Wazir juga disebut sebagai pembantu imam dalam menjalankan roda pemerintahan.

Wazir dibagi menjadi dua, yaitu :
 Wazir taf widl
1. Boleh ikut campur dalam masalah peradilan
2. Boleh mengangkat pejabat tinggi
3. Punya kekuasaan mengumumkan perang
4. Punya wewenang mengeluarkan uang

 Wazir tanfidz
1. tidak bisa ikut campur dalam masalah perdilan
2. tidak boleh mengangkat pejabat tinggi
3. tidak mempunyai kekuasaan mengumumkan perang
4. tidak mempunyai wewenang mengeluarkan uang
jadi, dengan demikian dapat diartikan bahwa wazir tafwidl adalah perdana menteri (wakil presiden) sedangkan wazir tanfidz hanya menteri biasa.

H. SIYASAH DAULIYAH
Siyasah dauliyah ialah yang mengatur antar Negara yang satu dengan Negara yang lain dan lembaga antar Negara tersebut (Politik hubungan internasional).
Dasar-dasar siyasah dauliyah
1. Kesatuan umat islam
2. Keadilan
3. Persamaan
4. Kehormatan manusia
5. Toleransi
6. Kerjasama kemanusiaan
7. Kebebasan dan Kemerdekaan
8. Perilaku moral yang baik
Hubungan internasional dibagi menjadi dua yaitu hubungan internasional dalam waktu damai yang didalamnya mengenai politik, Ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan, dan hubungan internasional dalam waktu perang.
 Hubungan internasional dalam waktu damai
1. damai asas hubungan internasional yaitu perang hanya biala keadaan darurat, yang tidak berperang bukan musuh, segera berhenti perang jika cenderung damai, dan memperlakukan tawanan secara manusiawi.
2. Kewajiban Negara terhadap Negara lain yaitu menghargai.
3. Mengadakan perjanjian Internasional.
 Hubungan internasional dalam waktu perang
Sebab terjadinya perang
1. memepertahankan diri
2. dalam rangka dakwah
Etika perang dalam islam
1. Dilarang membunuh anak
2. Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang
3. Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang
4. Tidak memotong dan merusak tanaman
5. Tidak membunuh binatang ternak
6. Tidakmenghancurkan tempat ibadah
7. Dilarang mencincang mayat musuh
8. Dilarang membunuh pendeta dan pekerja
9. Bersabar,berani dan ikhlas
10. Tidak melampaui batas.

I. JIHAD
Dalam islam, arti kata jihad berarti berjuang dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah-NYA. Jihad dilakukan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakan agama Allah.
Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali ke aturan Allah, menyucikan kalbu, memberikan pelajaran kepada umat dan mendidik manusia agar sesuai dengan harapan dan tujuan penciptaaan nereka yaitu menjadi khalifah di muka bumi ini.
Pada jaman Nabi juga jihad dilaksanakan pada waktu perang melawan kaum kafirin, saat itu jihad merupakan pekerjaan yang dijamin oleh Nabi yaitu barang siapa yang meninggal ketika perang dalam membelan agama Allah, maka imbalannya adlah mati Syahid.
Pada jaman sekarang, jihad tidak dilakukan dalam bentuk perang saja, tetapi memerangi hawa nafsu juga bisa dikatakan jihad.

J. TERORISME
Terorisme tidak bisa dikatakan jihad. Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan. Seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad SAW yang mewakili Madinah melawan Mekkah dengan sekutunya. Alas an perang tersebut terutama dipicu oleh kedzaliman kaum quraisy yang melanggar hak hidup kaum quraisy yang ada di mekkah (termasuk perampokan terhadap harta kaum muslimin serta pengusiran).

K. PBB DAN OKI
PBB (perserikatan bangsa-bangsa) yang dalam bahasa inggris disebut united nations adalah sebuah organisasi internasional ynag mengatur masalah hubungan antara Negara-negara yang termasuk kedalam anggota PBB ini. PBB ini dibentuk dalam rangka memfasilitasi hokum internasional, keamanan internasional, dan perlindungan social serta ikut serta mensejahterkan manusia yang ada dalam naungan Negara-negara anggota PBB.
PBB didirikan di san Fransisco pada 24 oktober 1945 setelah konferensi OAKS di Washington DC. Namun siding umum pertama yang dihadiri wakil dari 51 negara baru berlangsung pada 10 januari 1946.
OKI adalah sebuah organisasi nasional antar Negara muslim yang ada di dunia ini. OKI didirikan di Rabat pada 12 Rajab 1389 (25 september 1969). OKI ini bertujuan menampung aspirasi dari Negara-negara muslim yang ada di dunia stelah mereka merasa dilecehkan dan seolah tidak mempunyai hak suara oleh Negara-negara Barat.

PENGANTAR FILSAFAT

PENGANTAR FILSAFAT

I. Ringkasan Materi
A. Pengertian Filsafat
1. Secara Etimologi
• Filsafat (Bhs Indonesia); falsafah (Bhs Arab); philosophy (Bhs Inggris); philosophie (Bhs Belanda); philosophia (Bhs Latin)
• Berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philos-Philien (cinta; sahabat) sophos; Sophia (kebijaksanaan; pengetahuan yang bijaksana)
• Philosophy > philien; to love; Sophia; wisdom

2. Secara Terminologis adalah:
• Pengetahuan segala yang ada (Plato)
• Penjelasan rasional dari segala yang ada; penjajagan terhadap realitas yang terakhir, puncak hakiki (James K Faibleman)
• Usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan (Harold H Titus)
• Teori tentang pembicaraan kritis (John Passmore)
• Sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan secara radikal, sistematik dan universal (Sidi Gazalba)
• Refleksi menyeluruh tentang segala sesuatu yang disusun secara sistematis, diuji secara kritis demi hakikat kebenarannya yang terdalam serta demi makna kehidupan manusia di tengah-tengah alam semesta (Damardjati Supadjar)
Filsafat VS Idiologi
Sejarah pemikiran filsafat bermula ketika ada peristiwa dimana terdapat suatu kaum yang mengaku atau mengklem diri mereka paling bijak. Kaum tersebut adalah kaum Sofhis. Kemudian muncul pemikiran baru yang kontra melahirkan suatu kelompok kaum lain yaitu kaum filosofis. Kaum tersebut mengcounter pengakuan kaum Sofhis menjadi cinta kebjaksanaan, bagaimana mencapai suatu kebijaksanaan Filsafat adalah alat untuk mencapai kebenaran sejati.
Filsafat adalah alat untuk mencapai kebenaran sejati tapi penekanannya lebih pada substansi pikir atau usaha untuk mencapai kebijaksanaan. Filsafat tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, sebab hanya manusia yang dapat menyeimbangkan kehidupan di muka bumi. Manusia sebagai episentrum.
Berbeda tipis dengan filsafat, Idiologi lebih mengikat suatu kelompok yang mempercayai suatu pemikiran. Bagaimana mengikatnya suatu pemikiran untuk sekelompok orang yang memedominya.
B. Objek Filsafat
1. Objek material
Objek material filsafat merupakan sasaran kajian filsafat; yakni segala yang “ada”, konkrit-abstrak, maujud-tidak maujud; materiil-immateriil; phisik-non phisik; manifest-laten.
2. Objek Formal
Objek formal filsafat adalah sudut pandang kefilsafatan dalam mengkaji objek materialnya itu, misalnya dari sudut ontologi (hakikat ada), epistimologi (hakikat pengetahuan), aksiologi (filsafat nilai) dll

Proses dan Dimensi Filsafat
Proses berfilsafat bermula dari apa yang terjadi kemudian bagaimana itu terjadi dan lebih dalamnya adalah mengapa itu terjadi (what-how-why). Filsafat mamiliki dua dimensi yaitu dimensi proses dan dimensi hasil/filosofi.
C. Ciri-Ciri Berfikir Filsafat
Berfikir filsafat merupakan dimensi filsafat sebagai proses.
Berfilsafat adalah kegiatan berfikir atau merenung, memiliki beberapa ciri:
1. Kritis
Senantiasa mempertanyakan sesuatu
2. Radikat
Mendalam; sampai ke akar-akarnya
3. Konseptual
Generalisasi dan abstraksi dari berbagai pengalaman khusus
4. Koheren
Runtut; konsisten; tidak acak; tidak kacau; dan tidak fragmentaris
5. Rasional
Sesuai dengan nalar; hubungan logis antar bagian-bagian
6. Komprehensif
Menyeluruh; tidak parsial; tidak fragmentaris
7. Universal
Berlaku dimanapun; kapanpun; dalam situasi bagaimanapun
8. Spekulatif
Kebenarannya bersifat dugaan, tapi rasional
9. Sistematis
Ada hubungan abtar unsur; keseluruhan runtut
10. Bebas
Tidak terkekang; kreatif
Filsafat adalah alat untuk mencapai kebenaran sejati tapi tidak semua kebenaran dapat difilsafati
Contohnya Agama, karena kebenaran hanyalah Tuhan yang sepenuhnya tahu semua tapi Agama dapat dilogika atau dinalarkan (beberapa aspek)
Komprehensif VS Koheren
Komprehensif adalah keseluruhan tentang suatu hal-hal menurut bagian-bagian yang berbeda. Sedangkan koheren lebih runtut.

D. Sifat-sifat Dasar Filsafat
1. Mempunyai tingkat keumuman yang tinggi
2. Tidak faktawi (mendasarkan pada fakta-fakta)
3. Berkaitan dengan nilai
4. Mencengangkan
Bermula dari rasa heran, kekurangan bukti-bukti, kontemplasi (merenung)
5. Implikatif
Memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru karena jawaban yang diperoleh tidak pernah pernah final (memuaskan)
6. Berkaitan dengan makna


E. Metode Filsafat
1. Metode Analisis
Yaitu melakukan perincian terhadap istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-bagiannya agar dapat menangkap makna yang dikandungnya. Memahami komponen terlebih dahulu kemudian menguraikan komponen
2. Metode Sintesis
Yaitu melakukan penggabungan semua pengetahuan yang diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia
Metode ini kebalikan dari Analisis
Bukan dari sesuatu yang bulat, tapi dari serpihan atau bagian-bagian untuk mengambil suatu kesimpulan atau pemahaman yang utuh
Mikro cosmos : bentuknya tidak kasat mata
Contohnya : literature tentang spiritualisme-dunia kecil dalam diri kita
Pola tesis, antitesis, oleh Hegel disebut dialektika Hegel yang merupakan dialektika Matrealis
Contoh
o Tesis : Borjuasi
o Antitesis : Ploretarian
o Sintesis : non class society (masyarakat tanpa kelas)
3. Metode Analitiko-sintesis
Adalah penggabungan antara motode analisis dan sintesis dengan melakukan perincian terhadap istilah atau pernyataan, kemudian mengumpulkan kembali suatu istilah atau pengetahuan itu untuk menyusun suatu rumusan umum.
4. Metode Dialog Sokrates
Yaitu dialog antara dua pendirian yang berbeda. Metode dasar untuk penyelidikan filsafat adalah metode dialog Sokrates.
F. Perangkat Metode Filsafat
Perangkatnya adalah logika yaitu cara-cara atau aturan-aturan berfikir untuk mencapai kesimpulan setelah didahului oleh premis. Logika dibagi dua, yaitu:

1. Logika Deduktif
Berangkat dari pernyataan umum yang tidak dipertanyakan lagi (dalil) untuk memperoleh kesimpulan khusus. Pembuktian logika deduktif dijelaskan dalam silogisme kategoris, terdiri dari tiga pernyataan:
a. Premis mayor
b. Premis minor
c. kesimpulan
2. Logika Induktif
Penarikan kesimpulan yang berasal dari pernyataan-pernyataan khusus. Keberadaan dari kesimpulan induktif bersifat riteria y .

G. Aliran Filsafat
 Aliran Filsafat (aspek Geo-kultur)
1. Barat
Berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani Kuno dan dipelajari secara akademis di Eropa dan daerah-daerah jajahannya. Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema itu adalah: riteria, riteria y, dan aksiologi. Tema pertama adalah ontologi.
Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Tema ketiga adalah aksiologi, yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. (http://id.wikipedia.org)
Filsafat Barat terbagi :
• Klasik
Tokohnya : Thales, Socrates, Plato, Aristoteles, dyl
• Pertengahan
Tokohnya : Thomas Aquino
• Modern
Yaitu pada jaman Renaisance
Tokohnya : Descartes, Leibniz, Pascal, Spinoza, Hobbes, dll
• Kontemporer
Tokohnya : Foucault Camus, Sartre, Hubermas, Heidegger, dsb
2. Timur
Berkembang di Asia, (khususnya di India dan Tiongkok) dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Satu cirinya khasnya kedekatan hubungan filsafat dengan agama.
3. Timur Tengah
Ahli waris tradisi filsafat Barat. Orang-orang Arab/Islam (juga beberapa orang Yahudi) yang menaklukkan daerah sekitar Laut Tengah, menjumpai kebudayaan Yunani dengan Tradisi falsafi mereka.
Masih ada dua pembagian filsafat jika dilihat dari sudut pandang berbeda, yaitu:
1. Filsafat Islam
Filsafat Islam bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan ‘sudah ditemukan.’
2. Filsafat Kristen
Filsafat Kristen mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah riteria dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah riteria atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dsb.

 Aliran Filsafat
Beberapa aliran filsafat oleh filusuf antara lain:
1. Materialisme
Adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran adalah hanya penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsure-unsur fisis.
Tokoh aliran ini antara lain: Demokritos (460-370 SM), Thomas Hobbes (1588-1679)
2. Rasionalisme
Aliran rasionalisme berpendapat bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal piker atau ratio.
Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (159-1650), Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716)
3. Empirisme
Empirisme adalah aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indera dari alam empiris selanjutnya terkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman.
Tokoh-tokoh empiris antara lain: John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776)
4. Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan tapi mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat dan guna dari pengetahuan tersebut.
Tokoh aliran ini adalah C. S. Pierce (1839-1914), William James (182-1910)
5. Hedonisme
Aliran ini menyatakan bahwa kebahagiaan yang didasarkan pada suatu kenikmatan merupakan suatu tujuan dari tindakan manusia.
Aliran ini dihidupkan Jeremy Bentham pada akhir abad 18
6. Utilatianisme
Aliran ini menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan jumlah yang sebanyak-banyaknya kenikmatan atau kebahagiaan dalam dunia.
Aliran ini dikembangkan oleh Bentham dan Mill bersaudara
II. Tambahan Materi
Berdasarkan objek material dan formal filsafat maka lingkup pengertian filsafat menjadi sangat luas. Bidang lingkup pengertian filsafat antara lain: (Drs. Kaelan, 2002: 7-9)
1. Filsafat sebagai suatu kebijaksanaan yang rasional dari segala sesuatu
Filsafat sebagai suatu kebijaksanaan yang rasional tentang segala sesuatu tertentu dalam kaitannya dengan hidup manusia. Manusia dalam hidupnya senantiasa menghadapi berbagai macam problema hidup.
2. Filsafat sebagai suatu sikap dan pandangan hidup
Dalam menyelesaikan permasalahan, manusia harus berdasarkan sikap dan pandangan hidunya. Oleh karena itu manusia harus harus memiliki prinsip-prinsip sebagai suatu sikap dan pandangan hidup agar tidak terombang-ambing, mendalam, kritis dan terbuka.
3. Filsafat sebagai suatu kelompok persoalan
Persoalanpersoalan manusia dalam hidup memerlukan jawaban. Namun tidak semua persoalan manusia dikatakan filsafat. Persolan manusia yang termasuk dalam lingkup filsafat adalah bersifat fundamental, mendalam, hakiki serta memerlukan jawaban yang mendalam hakiki sampai pada tingkat hakikatnya.
4. Filsafat sebagai suatu kelompok teori dan sistem pemikiran
Filsafat dalam pengertian ini mengacu kepada suatu hasil atau teori yang dihasilkan oleh para filsuf.
5. Filsafat sebagai suatu proses kritis dan sistematis dari segala pengetahuan manusia
Filsafat berupaya untuk meninjau secara kritis segala pengetahuan manusia terutama ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini.
6. Filsafat sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang komprehensif
Menurut para ahli filsafat spekulatif, tujuan filsafat adalah berupaya menyatu-padukan hasil-hasil pengalaman manusia dalam bidang keagamaan, etika derta ilmu pengetahuan yang dilakukan secara menyeluruh. Pemecahan masalah dengan cara berfikir yang khas menghasilkan himpunan pengetahuan khas juga dan kemudian berfungsi ganda bagi manusi yang berfilsafat, yaitu merupakan umban balik dalam menghadapi dan mengusahakan pemecahan masalah secara memuaskan.
Pengertian filsafat dari filsuf dapat disederhanakan menjadi dua pemikiran pokok, yaitu: (Drs. Kaelan, 2002: 10-11)


1. Filsafat sebagai produk
Pengertian filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori riter atau tertentu yang merupakan hasil dari proses berfilsafat dan yang mempunyai cirri-ciri tertentu.
Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi manusia sebagai hasil aktivitas berfilsafat dengan rite-ciri khas tertentu sebagai suatu hasil kegiatan berfilsafat dan pada umumnya proses pemecahan masalah filsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat sebagai proses yang dinamis.
2. Filsafat sebagai suatu proses
Filsafat diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek permasalahannya. Filsafat merupakan suatu riter pengetahuan yang dinamis tidak hanya sekumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni dan dipahami sebagai suatu riter nilai tertentu tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang dinamis dengan menggunakan suatu cara dan metode tersendiri.

Analisis Abstraksi (Drs. Kaelan, 2002: 20-21)
Segala sesuatu di alam semesta ini pada intinya memiliki kuantitas, yaitu luas, bentuk berat serta jumlah. Kualitas, yaitu segala suatu yang melekat pada segala sesuatu. Selain itu, segala benda dan makluk hidup tidak berada secara sendirinya melainkan bersama-sama dengan benda-benda lainnya yang senantiasa mengelilinginya. Maka dalam hubungannya dengan benda-benda atau segala sesuatu yang lain terdapat aksidensia antara lain aksi, yaitu menyangkut perubahan segala sesuatu yang ada dari yang mungkin terjadi. Passi, menyangkut penerimaan perubahan yang dikatkan oleh suatu hal atau benda lain. Relasi, dimana setiap dalam hubungannya memiliki causa serta akibat.Tempat, segala sesuatu di alam semesta mengambil ruang. Waktu, segala sesuatu senantiasa berada dalam suatu waktu tertentu. Keadaan, bagaimana sesuatu iru ada peda tempatnya. Dan kedudukan, yaitu bagaimana sesuatu itu berada di samping benda atau sesuatu lain.
Proses analisis abstraksi dilakukan dengan menyisihkan setingkat demi setingkat aksidensia kemudian sampailah pada pengertian benda atau sesuatu itu sendiri memiliki kualitas dan kuantitas itu disingkirkan maka sampailah pada suatu inti yang terdalam yaitu substansi atau disebut hakikat segala sesuatu yang sifatnya tetap.

Cabang-cabang Filsafat (Drs. Kaelan, 2002: 22-35)
Filsafat timbul karena adanya persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Maka muncullah cabang-cabang filsafat sesuai dengan pemikiran dan problema yang dihadapi oleh manusia. Cabang-cabang filsafat yang tradisional terdiri atas logika, metafisika, epistemology dan etika. Namun demikian berangsur-angsur berkembang sejalan dengan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Cabang-cabang filsafat yang pokok antara lain :

1. Metafisika
Yang berkaitan dengan persoalan tentang hakikat yang ada (segala sesuatu yang ada). Persoalan metafisika dapat diperinci menjadi tiga persoalan, yaitu riteria membahas tentang sifat dasar dari kenyataan yang terdalam, kosmologi membahas tentang hakikat alam semesta sebagai suatu riter yang teratur dan antropologi yang membahas bagaimana hakikat perbedaan makluk hidup manusia dengan makhluk hidup lain.
Aliran dalam Metafisika antara lain dari segi kwantitas adalah monisme dengan tokohnya Thales (625-545), Anaximander (610-647), dan Anaximenes (585-528). Dualisme oleh Plato (428-348 SM), Rene Descartes (1596-1650), Leibniz (1946-1716), Leibniz (1946-1716) dan Immanuel Kant (1724-1804). Pluralisme oleh Empedokles (490-430SM), dan Anaxagoras (500-428 SM). Dari segi kwalitas antara lain Spiritualisme, tokohnya Plato dan Leibniz serta aliran materialism. Dari segi proses, yaitu Mekanisme oleh Leucippus dan Demokritus, serta Republik Descartes. Telelogis oleh Plato dan Aristoteles. Vitalisme tokohnya Hans Adolf Edward Driesch (1867-1940) dan Bergson (1859-1941).
2. Epistemologi
Yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan, yaitu tentang sumber, watak, dan kebenaran pengetahuan. Aliran-aliran dalam bidang pengetahuan antara lain Rasionalisme oleh Rene Descartes, Spinoza dan Leibniz. Empirisme oleh John Locke dan David Hume. Realisme tokohnya Aristoteles George Edward Moore dan Bertand Russell. Kritisme oleh Immanual Kant. Positivism dengan tokoh August Comte. Skeptisisme oleh Rene Descrates. Pragmatime oleh C.S Pierce dan William James.
3. Metodologi
Yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode ilmiah. Hal ini sangat penting dalam ilmu pengetahuan terutama dalam proses perkembangannya.

4. Logika
Yang berkaitan dengan persoalan penyimpulan
5. Etika
Yang berkaitan dengan persoalan moralitas tentang pertimbangan-pertimbangan tindakan-tindakan baik dan buruk, susila dan tidak susila, etis dan tidak etis dalam hubungan antar manusia. Etika dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu etika riteria , etika deduktif, dan metaetika.
Aliran-aliran dalam bidang etika antara lain adalah Idealisme atau yang disebut Idealisme Etis oleh Immanuel Kant. Etika riteria misalnya Utilitarisme. Hedonisme oleh Jeremy Bentham. Utilatianisme oleh Bentam dan Mill bersaudara. Intuisionisme, tokoh-tokohnya H.A Prichard E.F Carrit dan W.D Ross.
6. Estetika
Yang berkaitan dengan persoalan keindahan, membicarakan tentang definisi, susunan dan peranan keindahan terutama dalam seni. Filsafat berkembang sesuai dangan perkembangan peradaban manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Cabang-cabang filsafat yang beru atau yang disebut filsafat khusus antara lain Filsafat hukum yang membahas hakikat hokum, filsafat bahasa tentang hakikat bahasa, filsafat social yaitu membahas tentang hakikat hubungan atau interaksi manusia dalam masyarakat, filsafat ilmu yaitu membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan, filsafat politik membahas tentang hakikat mesyarakat dan Negara dengan segala aspeknya, filsafat kebudayaan yaitu membahas tentang hakikat kebudayaan, filsafat lingkungan membahas tentang hakikat hugbungan manusia dengan lingkungannya, dll.

Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan dan Agama
Ilmu filsafat bukanlah suatu ilmu praktis, bukan ilmu terapan. Semua ilmu pengetahuan memiliki rite-ciri ysiyu mrmiliki objek, metode, sistematis, dan riteria kebenaran yang universal.ilmu filsafat bersifat reflektif. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain hanya membahas objek ilmu tersebut namun tidak pernah mempertanyakan dirinya sendiri. Baik filsafat maupun ilmu merupakan pengetahuan manusia. Keduanya berpangkal pada akal manusia untuk mencapai kebenaran. Keduanya memiliki syarat-syarat ilmiah. Merupakan suatu system pengetahuan manusia yang bersifat rasional dan sistematis. Perbedaannya adalah filsafat merupakan induk ilmu pengetahuan, filsafat bersifat spekulatif. Ilmu hanya menjelaskan fakta terutama fakta empiris sedangkan filsafat memahami, menginterpletasikan dan menafsirkan fakta secara rasional. Filsafat membahas objek secara menyeluruh baik meliputi gejala empiris maupun nonempiris, adapun ilmu hanya membahas gejala-gejala empiris saja dan bersifat khusus.
Hubungan dan perbedaan antara filsafat dan agama adalah baik agama maupun filsafat merupakan suatu usaha untuk mendapatkan suatu kebenaran yang hakiki melalui kegiatan akal budinya dengan segala kemampuan batiniyah. Namun filsafat berpangkal tolak pada akal budi beserta seluruh potensi batiniah manusia. Adapun agama kebenarannya bersumber pada wahyu Tuhan, manusia hanya menerima dengan suatu iman dan ketaqwaan. Agama hanya mampu dipahami dengan hukum Tuhan. Filsafat dalam memperoleh kebenaran hakiki adalah dengan cara mempertanyakan dan mempermasalahkan segala hal yang dihadapi manusia, kemudian diupayakan pemecahan dengan segala kemampuan akal budinya. Sedangkan agama berbeda, untuk sampai pada kebenaran hakiki maka manusia tidak dibenarkan untuk mempermasalahkan, mempertanyakan dan meragukan kebenaran yang diwahyukan Tuhan lewat utusannya. Dengan demikian agama harus berangkat dari kepercayaan, keimanan dan ketaqwaan manusia.

HUKUM TATA NEGARA

HUKUM TATA NEGARA






MAKALAH
KEWARGANEGARAAN
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Matakuliah Hukum Tata Negara
Semester Genap Tahun Akademik 2008/2009











Oleh :
Dini Rizki Fitriani
(207 300 4xx)
Iir Hariman
(207 300 468)
Rijal Badruzzaman
(207 300 481)
Mahasiswa Program Studi Peradilan Islam, Jurusan Ahwal Syakhshiyyah
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung





Dosen : Uu Nurul Huda, S.Ag, M.H.






BANDUNG
1430 H./2009 M.

BAB I
PENDAHULUAN

Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik (negara), dan dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik.Seseorang dengan keanggotaan tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara umum mirip dengan kebangsaan, walaupun dimungkinkan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi bangsa dari suatu negara.
Untuk memahami lebih jauh mengenai warga negara dan kewarganegaraan ada baiknya dimulai dengan satu pemahaman mengenai pengertian warga negara itu sendiri dan apakah itu kewarganegaraan dalam berbagai keadaan atau lingkungan yang berbeda-beda? Dalam satu literatur warga negara memiliki padanan dalam bahasa inggris yaitu citizen (a native registered or naturalized member of a state, nation, or other political community) sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia ditemukan pengertian sebagai “penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagaimnya mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu” dan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dirumuskan sebagai “warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Biasanya, kewarganegaraan bersepadan dengan kerakyatan (bahasa Inggeris: nationality). Bagaimanapun, kedua-dua istilah ini harus dibezakan. Seorang warganegara mempunyai hak-hak untuk menyertai bidang politik negerinya, seperti mengundi ataupun menjadi calon pilihan raya, sedangkan seorang rakyat tidak seharusnya mempunyai hak-hak tersebut, walaupun biasanya mereka mempunyainya.
Kewarganegaraan berasal daripada hubungan di sisi undang-undang dengan sebuah negara. Sebaliknya, kerakyatan biasanya berasal daripada tempat kelahiran, iaitu jus soli) dan, kekadangnya daripada keetnikan, iaitu jus sanguinis). Tambahan pula, kewarganegaraan boleh diserahkan melalui penyerahan kewarganegaraan dan diperolehi melalui pewarganegaraan.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: citizenship (the condition or status of a citizen, with its rights and duties) sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dirumuskan “hal yang berhubungan dengan warga negara; keanggotaan sebagai warga negara”, Hector S De Leon dan Emilio E Lugue, JR memberikan arti kepada istilah citizenship dan citizen sebagai berikut:
“a. Citizenship is a term denoting membership of citizen in a political society, which membership implies, reciprocally, a duty of allegiance on the part of the member and a duty of protection on the part of the state;
b. Citizen is a person having the title of citizenship, He is members of democratic community who enjoys civil and political rights and is accorded protection inside and outside the territory of the state. Along with other citizens, they compose the political community”.
Emmanuel T Santos memeberikan rumusan “Citizenship is a status of an individual by virtue of which he owes allegiance to the government and whose protection se is entiled. Citizenship involves four concepts: (1) membership in a social-political group; (2) freedom of individual action; (3) protection of life, liberty, and property; (4) responsibility of the individual to the community”.
Warga negara adalah orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Warga negara mengandung arti pula sebagai pesrta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama (Adeng Muchtar G. :2004 :19). Menurut AS. Hikam, warga negara yang merupakan terjemahan dari citizhenship, adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah “segala hal ihwal yang berhubungan dengan dengan warga negara”. Dalam sumber lain ditemukan sebuah konsep kewarganegaraan yaitu “merupakan suatu keahlian kepada sebuah komunitas politik yang kini lebih biasa merupakan sebuah negara yang membawa hak-hak penyertaan politik. Seorang individu yang memiliki keahlian ini dinamakan warga negara”.
Jelaslah bahwa masalah kewarganegaraan merupakan masalah yang bersifat principal dalam kehidupan bernegara. Tidaklah mungkin suatu negara dapat berdiri tanpa adanya warga Negara. Hal ini secara jelas dikemukakan dalam Pasal 1 Montevideo Convention 1933:
On The Rights and Duties of States, yang dirumuskan :” The state as a person international law should possess the following qualifications: a permanent population, a dfined territory, agovernment, a capacitiy to enter relations with other states. ( Negara sebagai subjek hukum internasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: rakyat yang permanent, wilayah yang tertentu, pemerintahan, kapasitas untuk terjun ke dalam hubungan dengan negara-negara lain.”
Bila dibicarakan mengenai hubungan warga negara dengan negara atau keanggotaan dalam negara, maka hubungan tersebut dinyatakan dengan istilah kewarganegaraan. Jadi istilah kewarganegaraan menyatakan hubungan atau ikatan hukum antara seorang individu dengan suaru negara atau keanggotaan dari suatu negara. Dilihat dari hubungannnya dengan negara, maka istilah warganegara, rakyat dan bangsa mempunyai arti yang sama, yaitu orang yang menjadi pendukung dari negara tersebut. Perbedaannya adalah dari sudut mana mempergunakannya. Warganegara dipergunakan apabila melihat dari sudut pendukung dari negara. Rakyat dipergunakan dalam hal sebagai yang dilawankan dengan penguasa, atau sebagai kelompok yang diperintah. Sedangkan istilah bangsa menunjukkan sebagai suatu kesatuan yang dibedakan dengan kelompok lain.
Terdapat beberapa pengertian mengenai kewarganegaraan di antaranya:
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis (juridische nationaliteit) dan Sosiologis (socioligische nationaliteitbegrif)
Kewarganegaraan dalam arti yuridis adalah ikatan hukum (de rechtsband) antara negara dengan orang-orang pribadi (natuurlijke personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat, bahwa orang-orang tersebut jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan atau dengan kata lain warga dari negara itu (burgers van die staat zijn). Kewarganegaraan dalam arti sosiologis adalah kewarganegaraan yang tidak berdasarkan ikatan yuridis, tetapi sosial politik yang disebut natie.
Yang terpenting dalam pengertian kewarganegaraan yuridis (juridische nationaliteit), adalah adanya ikatan dengan negara dan tanda adanya ikatan tersebut dapat dilihat antara lain dalam bentuk pernyataan tegas negara tersebut. Dalam konkretnya pernyataan itu dinyatakan dalam bentuk surat-surat, baik keterangan maupun keputusan yang digunakan sebagai bukti adanya keanggotaan dalam negara itu.
b. Kewarganegaraan dalam arti formal dan materiil (formeel en matereel nationaliteitbegrif)
Yang dimaksud kewarganegaraan dalam arti formal adalah tempat kewarganegaraan itu dalam sistematika hukum, sedangkan kewarganegaraan yang materil ialah akibat-akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu. Fungsi kewarganegaraan ialah pembatasan lingkungan kekuasaan pribadi negara-negara. Salah satu akibat dari ikatan seseorang dengan negara, ialah bahwa orang tersebut tidak jatuh di bawah lingkungan kekuasaan pribadi negara asing dan di pihak lain negara mempunyai kekuasaan untuk memperlakukan segala kaidah terhadap seseorang, sebagaimana halnya dengan warga negara pada umumnya. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pengertian kewarganegaraan itu tanpa isi, yaitu tiada hak-hak dan kewajiban-kewajiban konkret yang melekat pada pengertian itu . Ia hanya suatu titik pertautan untuk berbagai hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh negara maupun perseorangan.
c. Nationality dan nationals
Nationality (kebangsaan) sebagai suatu pertalian hukum harus dibedakan dari citizenship (kewarganegaraan). Citizenship adalah suatu status menurut hukum dari suatu negara yang memberi keuntungan-keuntungan hukum tertentu dan membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada individu.
Nationality sebagai istilah hukum internasional menunjuk kepada ikatan, yaitu ikatan seorang individu terhadap suatu negara yang memberi kepada suatu negara hak untuk mengatur dan melindungi nationals-nya, meskipun di luar negeri. Walaupun pada umumnya nationality itu dirimbag (derived, derivasi) dari citizenship, tetapi baik nationality maupun citizenship berasal dari hukum suatu negara, sedangkan international law memberi pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak dari suatu negara untuk memberikan nationality dan perjanjian-perjanjian (treaties) mungkin mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu pula.
Jadi perbedaan pengertian antara citizens dan nationals, ialah bahwa ‘nationals’ tidak perlu menjadi warga Negara suatu Negara, cukup apabila mereka setia atau patuh kepadanya, tanpa mereka sendiri menjadi asing. Dengan demikian pengertian ‘national’ lebih luas daripada pengertian citizen.
Pengertian hukum dari kewarganegaraan (nationality) tidak boleh dicampur adukan dengan pengertian nationality dalam pengertian sosiologis, karena kewarganegaraan dalam arti sosiologis itu berdasarkan pengertian etnik, yaitu sekelompok orang yang terikat satu sama lain karena ciri-ciri fisik tertentu yang menurun seperti persamaan keturunan, bahasa, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi dan mereka yakin, bahwa mereka adalah satu dan dapat dibedakan dengan orang-orang lain.
2. Asas Kewarganegaraan
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis. Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Untuk lebih jelasnya satu persatu asas-asas tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a. Dari Segi Kelahiran
Terdapat dua macam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah ini berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman sedangkan soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah, atau daerah. Sehingga ius soli berarti pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Kaitannya dengan asas kewarganegaraan, ius soli berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Orang yang lahir di negara X akan memperoleh kewarganegaraan dari negara X tersebut. Asas yang ke dua adalah ius sanguinis berarti pedoman yang didasarkan kepada darah atau keturunannya atau orang tuanya . Orang yang lahir dari orang tua warga negara Y akan memperoleh kewarganegaraan dari negara Y itu.
Penggunaan kedua asas secara simultan ini dimaksudkan untuk menceagah status apatride atau tidak berkewarganegaran (stateless). Artinya apabila terdapat seseorang yang tidak memperoleh kewarganegaraan dengan penggunaan asas yang lebih dititikberatkan oleh negara yang bersangkutan, masih dapat memperoleh kewarganegara dari negara tersebut berdasarkan asas yang lain.
Kondisi sebaliknya jika sebuah atau beberapa negara menganut asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat menimbulkan masalah bipatride atau dwi kewargenageraan (berkewarganegaraan ganda), bahkan multipatride (berkewarganegaraan banyak atau lebih dari dua).
Pada mulanya hanya ada satu asas yaitu ius soli, karena hanya beranggapan bahwa karena lahir suatu wilayah negara, logislah apabila seseorang merupakan warga negara dari negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan asas lain yang tidak terbatas pada tempat kelahiran semata. Orang tua tentu masih mempunyai ikatan dengan negaranya sendiri. Masalah akan timbul ketika kewarganegaraan anaknya berlainan dengan kewarganegaraan orang tuanya sendiri. Anak memperoleh kewarganegaraan dari tempat ia dilahirkan , sedangkan orang tuanya tetap berkewarganegaraan dari negara asal. Atas dasar itulah muncul asas yang baru, yaitu ius sangunis tersbut. Dengan asas ini kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan orangtuanya.
Sebagian besar negara imigratif pada prinsipnya lebih menggunakan ius soli sebagai asas kewarganegaraannya. Sebaliknya, negara emigratif (negara yang warga negaranya banyak merantau ke negara lain) cenderung menggunakan asas kewarganegaraan ius sanguinis. Keduanya mempunyai alasan yang sama, yaitu negara yang bersangkutan ingin mempertahankan hubungan dengan warganegaranya. Negara emigratif ingin tetap mempertahankan warga negaranya. Di manapun mereka berada, mereka tetap merupakan bagian dari warga negaranya. Sebaliknya negara imigratif menghendaki agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam negara yang baru itu.
b. Dari Segi Perkawinan
Melalui perkawinan lahirlah dua asas, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Sebuah perkawinan dapat menyebabkan terjadinya perubahan status kewarganegaraan seseorang. Masalah kewarganegaraan dalam konteks ini akan muncul apabila terjadi suatu perkawinan campuran,yaitu suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraannya. Munculnya kedua asas ini berawal dari kedudukan pihak wanita di dalam perkawinan campuran itu.
Asas kesatuan hukum bertolak dari hakikat suami isteri ataupun ikatan dalam keluarga. Keluarga merupakan inti masyarakat dan masyarakat akan sejahtera apabila didukung oleh keluarga-keluarga yang sehat dan tidak terpecah. Kehidupan suami isteri yang baik mencerminkan satu kesatuan keluarga yang utuh dan harmonis, dan ini tercipta karena terdapatnya satu kesatuan yang utuh dan bulat dalam keluarga, dan untuk mencapai kesatuan dalam keluarga diperlukan satu kepatuhan terhadap hukum yang sama.
Terdapat nilai-nilai positif dari penyelenggaraan kehidupan keluarga tersbut apabila para anggota keluarga itu tunduk pada hukum yang sama, misalnya dalam masalah keperdataan: pengaturan harta kekayaan, status anak, dan lain-lain. Karena itu akan baik dan bahagia sebuah rumah tangga jika dalam keluarga tersebut memiliki kewarganegaraan yang sama yang secara otomatis tunduk pada satu hukum yang sama. Sebagai reaksi dari penggunaan asas ini, muncul satu bentuk protes dari kalangan perempuan yang menganggap bahwa dengan asas ini seolah-olah atau kaum perempuan berada pada derajat yang bawah atau bertentangan dengan prinsip emansipasi wanita yang selama ini diperjuangkan kaum perempuan. Dalam prinsip emansipasi wanita, laki-laki sama saja dengan perempuan dan tidak mau untuk dibeda-bedakan. Sebagai reaksi dari rasa ketidakadilan ini muncul asas baru yaitu asas persamaan derajat.
Pada asas persamaan derajat ini ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan berubahnya satus kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik pihak suami maupun pihak isteri tetap memiliki kewarganegaraan asalnya, sama ketika mereka melangsungkan perkawinan.
Dari sisi kepentingan nasional masing-masing negara asas persamaan derajat ini mempunyai aspek yang positif. Asas ini jelas dapat menghindari terjadinya penyelendupan hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing yang ingin memperoleh status warga negara tertentu berpuran-pura melakukan perkawinan dengan seorang warga negara dari negara yang dituju. Melalui perkawinan itu, orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkan. Setelah status kewarganegaraan diperoleh, maka dapat saja bercerai kembali. Untuk hal ini banyak negara mengatur masalah penggunaan asas ini dalam peraturan kewarganegaraannya.
Seperti halnya asas ius soli dan ius ius sanguinis, penggunaan dua asas kesatuan hukum persamaan derajat yang berlainan dapat menimbulkan status bipatride dan apatride, khususnya bagi wanita. Melalui perkawinan seseorang wanita dapat mempunyai kewarganegaraan lebih dari satu. Sebaliknya melalui perkawinan pula seorang wanita dapat kehilangan kewarganegaraannya.
Di samping asas-asas tersebut di atas dalam menentukan kewarganegaraan dipergunakan dua stelsel kewarganegaraan,yaitu: (a) stelsel aktif; dan (b) stelsel pasif. Menurut stelsel aktif orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif menjadi warga negara. Menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya dianggap menjadi warganegara tanpa melakuakn sesuatu tindakan hukum tertentu. Berhubungan dengan ke-dua stelsel tersebut maka harus dibedakan: (a) hak opsi,yaitu hak untuk memilih sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif) dan (b) hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).
3. Unsur-Unsur Yang Menentukan Kewarganegaraan
1.Unsur Darah Keturunan (Ius Sanguinis)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, prinsip ini berlaku diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan Indonesia.
2. Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan,prinsip ini berlaku di Amerika, Inggris, Perancis, dan Indonesia, terkecuali di Jepang.
3.Unsur Pewarganegaraan ( Naturalisasi)
Syarat-syarat atau prosedur pewarganegaraan disesuaikan menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif.Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapa menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif,seseorang yang tidak mau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repuidasi yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
Pembicaraan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara ada yang dikenal dengan apatride untuk orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan, bipatride untuk orang- orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap/dwikewarganegaraan, dan multipatride untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki dua atau lebih status kewarganegaraan.
4. Karakteristik Warga Negara Yang Demokrat
Untuk membangun suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadaban, maka setiap warga nagara yang disebut sebagai demokrat,yakni antara lain sebagai berikut:
1. rasa hormat dan tanggung jawab
2. bersikap kritis
3. membuka diskusi dan dialog
4. bersikap terbuka
5. rasional
6. adil
7. jujur
Beberapa karakteristik warga negara yang demokrat tersebut, merupakan sikap dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga negara. Hal ini akan menampilkan sosok warga negara yang otonom yang mempunyai karakteristik lanjutan sebagai berikut:
1. memiliki kemandirian
2. memiliki tanggung jawab pribadi, politik dan ekonomi sebagai warga negara
3. menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi
4. berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan denganpikiran dan sikap yang
santun.
5. mendorong berfungsinya demokrasi konstitusional yang sehat.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 62/1958 bahwa ada tujuh cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia , yaitu karena kelahiran, pengangkatan, dikabulkannya permohonannya, pewarganegaraan , turut ayah dan atau ibu serta karena pernyataan.
5. Hak Dan Kewajiban Warga Negara
Dalam konteks Indonesia, hak warga negaraterhadap negara telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam UUD 1945. diantaranya hak asasi manusia yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD gubahan kedua. Sedangkan contoh kewajiban yang melekat bagi setiap warganegara antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama antara negara dengan warga, membela tanah air (pasal 27), membela pertahanan dan keamanan negara (pasal 29), menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan (pasal 28 J),dan sebagainya. Prinsip utama dalam penentuan hak dan kewajiban warganegara adalah terlibatnya warga secara langsung ataupun perwakilan dalam saetiap perumusan dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban tersebut sebagai bagian dari kesepakatan mereka yang dibuat sendiri.

BAB III
KESIMPULAN
Kewarganegaraan memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: citizenship (the condition or status of a citizen, with its rights and duties) sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dirumuskan “hal yang berhubungan dengan warga negara; keanggotaan sebagai warga negara”, Hector S De Leon dan Emilio E Lugue, JR memberikan arti kepada istilah citizenship dan citizen sebagai berikut:
“a. Citizenship is a term denoting membership of citizen in a political society, which membership implies, reciprocally, a duty of allegiance on the part of the member and a duty of protection on the part of the state;
b. Citizen is a person having the title of citizenship, He is members of democratic community who enjoys civil and political rights and is accorded protection inside and outside the territory of the state. Along with other citizens, they compose the political community”.
Emmanuel T Santos memeberikan rumusan “Citizenship is a status of an individual by virtue of which he owes allegiance to the government and whose protection se is entiled. Citizenship involves four concepts: (1) membership in a social-political group; (2) freedom of individual action; (3) protection of life, liberty, and property; (4) responsibility of the individual to the community”.
Kewarganegaraan dalam arti yuridis adalah ikatan hukum (de rechtsband) antara negara dengan orang-orang pribadi (natuurlijke personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat, bahwa orang-orang tersebut jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan atau dengan kata lain warga dari negara itu
Yang dimaksud kewarganegaraan dalam arti formal adalah tempat kewarganegaraan itu dalam sistematika hukum, sedangkan kewarganegaraan yang materil ialah akibat-akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu.
Nationality (kebangsaan) sebagai suatu pertalian hukum harus dibedakan dari citizenship (kewarganegaraan). Nationality sebagai istilah hukum internasional menunjuk kepada ikatan, yaitu ikatan seorang individu terhadap suatu negara yang memberi kepada suatu negara hak untuk mengatur dan melindungi nationals-nya, meskipun di luar negeri.
Asas kewarganegaraan ada 2 yaitu : asas kelahiran dan asas perkawinan. Terdapat dua macam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, yaitu ius soli dan ius sanguini. Melalui perkawinan lahirlah dua asas, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.

DAFTAR PUSTAKA
Adeng Muchtar Ghazali, 2004, civic education (pendidikan kewarganegaraan perspektif islam), benang merah press, Bandung.
C.S.T Kansil, 1992, Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta
http/ms.wikipedia.org/wiki/kewarganegaraan/file://C:\Documents%20and%20Settings\RE%20&%20PARTNERS\My%20Documents\ke.2/6/2002
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1997, Kamus Indonesia Inggris, PT.Gramedia Edisi ke-tiga., Cetakan ke-7, Jakarta.
Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Demokrasi, pendidikan kewarganegaraan : HAM dan masyarakat madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta.

ADMINISTRASI WAKAF

ADMINISTRASI WAKAF

PENDAHULUAN
Dalam ajaran Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat yang aman bagi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan Ka’bah sebagai pusat penyembahan berhala, dengan keyakinan bahwa penyembahan berhala tersebut merupakan salah satu upaya pendekatan diri kepada Allah. Selanjutnya setelah diutusnya nabi Muhammad saw syari’at Islam mengaturnya lebih jelas dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan diikuti oleh para sahabatnya.
Pada masa Islam, kita ketahui bahwa wakaf pertama dalam tasyri’ Islam adalah wakaf masjid yang dibangun umat Islam bersama Rasulullah di Quba pada tahun 622 M. Selanjutnya adalah wakaf masjid Nabawi di Madinah yang merupakan masjid terpenting kedua setelah masjid Haram di Makkah.
Dalam kajian-kajian fiqh hadits yang cukup terkenal yang menunjukkan disayari’atkannya wakaf, selain Hadits Umar bin Khattab adalah hadits Abu Thalhah riwayat Muslim dan Anas bin Malik; Abu Thalhah adalah sahabat yang paling banyak kebun kormanya di Madinah. Harta yang paling ia cintai adalah Bairaha’ yang tepat berhadapan dengan masjid Nabi. Setelah turun dan dibacakannya ayat 92 Surat Ali Imran, maka Abu Thalhah berdiri dan mengatakan: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’, ia kami sedekahkan kepada Allah, kami hanya mengharapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah. Pergunakanlah kebun itu sesuai dengan petunjuk Allah.” Maka Rasulullah pun menerima wakafnya dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang penggunaan hartanya tersebut. (Abdul Wahab, Al-Waqf, 39).
Selanjutnya permasalahan wakaf menjadi wacana fiqhiyah yang dibicarakan secara panjang lebar oleh para fuqaha’ berkenaan pengertian, syarat-syarat dan rukun wakaf, syarat-syarat wakif, syarat-syarat harta wakaf, syarat sasaran wakaf serta ketentuan-ketentuan lain berkaitan dengan pemberdayaan lembaga wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut..
Dari beberapa definisi wakaf, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
B. Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
C. Syarat-Syarat Wakaf
1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Dalam terminology fikih, rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu atau dengan perkataan lain rukun adalah penyempurnaan sesuatu dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu. Oleh karena itu, sempurna atau tidak sempurna wakaf telah dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam perbuatan wakaf itu tersendiri.
D. Unsur-unsur wakaf
Adapun unsur-unsur atau rukun wakaf menurut ulama dan fiqih islam, sebagai berikut :
1) Orang yang berwakaf (wakif),
Adapun syarat orang yang mewakafkan (wakif) adalah setiap wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbangan materiil, artinya mereka telah dewasa (baligh), berakal sehat, tidak dibawah pengampunan dan tidak karena terpaksa berbuat
Dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakif meliputi :
(1) Wakif perseorangan adalah apabila memenuhi persyaratan: Dewasa; Berakal sehat; Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan Pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi adalah memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum adalah memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

2) Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;
a. Barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
b. Milik sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
Dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 harta benda wakaf terdiri dari :
a. Benda tidak bergerak;
1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang berlaku;
5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.

b. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
1. Uang;
2. Logam mulia;
3. Surat berharga;
4. Kendaraan;
5. Hak atas kekayaan intelektual;
6. Hak sewa; dan
7. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.

3) Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
4) Akad, misalnya: "Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya" tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum). Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) pp no. 28/1977 jo.ps. 215 (3) khi). Pernyataan ikrar atau wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau aku menahan atau kalimat yang semakna lainya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilkan wakif, dan harta wakaf menjadi milik allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri. Karena itu frekuensinya, harta wakaf tidak bias dihibahkan, diperjual belikan, atau pun diwariskan.
Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 pp 28/1977 jo. Pasal 218 KHI : (1). Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir dihadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf (ppaiw) sebagai mana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkanya dalam bentuk aktra ikrar wakaf (aiw) dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. (2). Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan menteri agama.

Untuk syahnya suatu wakaf diperlukan Syarat-syarat sebagai berikut:
1. Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
2. Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, "Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang". Hal ini disebut tanjiz
3. Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan (mauquf) itu


E. Tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf
1. Tata cara pendaftaran ikrar wakaf
Pendaftaran ikrar wakaf dilakukan oleh wakif, yaitu orang atau sekelompok orang atau badan hokum yang mewakafkan benda miliknya engan mendatangi kepala Kantor Urusan Agama yang oleh menteri Agama ditetapkan sebagai pegawai pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW). Berikut adalah tata cara pendaftaran ikrar wakaf :
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2. Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
3. Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
4. Dalam melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat surat-surat sebagai berikut :
a. Tanda bukti pemilikan harta benda
b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai oleh surat keterangan dari kepala desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan
2. pelaksanaan ikrar wakaf
Pelaksanaan ikarar wakaf dilakukan sebagai berikut :
a. Pihaka yang mewakafkan harus menyatakan ikrar wakaf kepada nadzir yang telah disyahkan dihadapa PPAIW secara lisan dengan jelas dan tegas yang dituangkan dalam bentuk tertulis (W.1). apabila yang bersangkutan tidak mampu mengutarakannya secara lisan dapat dilakukan dengan isyarat.
b. Apabila pihak yang mewakafkan berhalangan hadir, maka dapat membuat wakaf secara tertulis dengan persetujuan kandepag yang mewilayahi tempat benda wakaf.
c. Ikrar wakaf harus dihadisri sekurang-kurangnya oleh dua orang skasi yang telah dewasa, sehat akalnya dan tidak terhalang oleh hokum.
d. PPAIW kemudian membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW) dalam bentuk W.2 dan salinan AIW dalam bentuk w.2a.
Penandatanganan Akta ikrar Wakaf
Penandatanganan ikrar wkaf dilakukan oleh wakif, nadzir, saksi-saksi dan kepala kantor urusan agama selaku PPAIW.
Penggandaan Akta Ikrar Wakaf
Penggandaan Akata Ikrar Wakaf dibuat rangkap tiga yang diperuntukan bagi
a. Lembar pertama disimpan oleh PPAIW
b. Lembar kedua dilampirkan pada surat permohponan pendaftaran wakaf kepada bupati/walikota daerah c.q. kepala Sub direktorat Agraria.
c. Lembar ketiga dikirim kepada pengadilan agama yang mewilayahi temapat benda wakaf tersebut.
Sedangkan salinan akta ikrar wakaf dibuat rangap empat yang diperuntukan kepada :
a. Lembar pertama diberikan kepada wakif
b. Lembar kedua diberikan kepada nadzir
c. Lembar ketiga diberikan kepada kandepag
d. Lembar keempat dibrikan kepada kepala desa yang mewilayahi tempat benda wakaf tersebut.


Proses sertifikasi wakaf
Persyaratannnya adalah :
a. Sertifikat tanah yang bersangkutan
b. Akta Ikrar Wakaf
c. Surat pengesahan nadzir
Apabila tanah wakaf belum ada sertifikatnya maka harus dilampiri :
a. Surat penegasan hak atas tanah
b. Suarat-surat bukti pemilikan tanah serta surat-surat keterangan lainnya yang diperlukan
c. Alkata Ikrar Wkaf (asli lembar kedua)
d. Surat pengesahan nadzir.

KESMPULAN
wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu
wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Maka dari itu, pengelolaan dan pendayagunaan benda wakaf perlu dilengkapi dengan administrasi wakaf yang jelas misalnya dengan melakukan pencatatan. Hal ini bertujuan supaya dikemudian hari tidak ada permaslahan tentang hak milik benda yang diwakafkan. Pengaturan semacam ini juga diraskan semakin penting untuk menghindari penyalhgunaan hakikat tujuan wakaf.

POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA

POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA
( H. Aqib Sumanto )

Pada masa klonial belanda, di Indonesia Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagia besar penduduk yag dijajahnya di kepulauan nusantara ini adalah beragama islam. Timbulya aneka perlawanan seperti perang paderi (1821-1827), perang Dipenogoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya, betapapun tidak terlepas dari kaita agama ini. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat tentang islam, mula-mula belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung. Sikap belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi konttradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak belanda sangat khawatir dengan akan timbulnya pemberontakan orang-orang islam yang fanatic. Sementara di pihak lain belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan.
Kebijaksanaan belanda yang tudak mencampuri urusan agama tersebut ternyata tidak konsisten, terbukti pemerintah colonial sering mencurigai para haji yang dianggap fanatic da suka memberontak. Pda tahun 1859, Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-grik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Disini terlihat bahwa kebijaksanaan tidak mencampuri agama hanya bersifat sementara, karena belum dikuasainya masalah islam islam sepenuhnya.
Setelah kedatangan snouck Hurgronje pada tahu 1889, maka ketakutan yang menyelimuti pemerintah colonial tentang islam itu hilang. Snouck hurgronje menjelaskan tentang pengetahuannya terhadap islam. Dia menegaskan bahwa dalam islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatic, penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, ulama independent bukanlah komplotan jahat, pergi haji ke mekkah pun bukan berarti fanatic berjiwa pemberontak, sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Baru setelah itu pemerintah belanda mempunyai kebijakan yang jelas mengenai islam.
Dengan politik islamnya, maka snouck hurgrinje menemukan seni memahami da meguasai penduduk yang sebagian besar muslim. Dialah Arsitek keberhasilan politik islam yang paling legendaries yang telah melengkapi pengetahuan belanda tentang islam, terutama dalam bidang sosial dan politik, disamping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan islam.
Sekalipun snouck hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme islam. Bagi dia, musuh kolonialisme bukanlah islam sebagai agama, melainkan islam sebagi doktrin politik. Dalam kenyataannya memang islam di Indonesia berfungsi sebgai titik pusat identitas yang melambangkan oerlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing.
Menghadapi maslah sepperti itu, maka snouck hurgronje mebuat kebijakansanaan pemerintah colonial dalam mengani masalah islam di Indonesia yaitu yang disebut islam politiek. Kemudian dia membedakan islam dalam pengertian ibadah dan islam sebagai kekutan sosial politik. Dalam hal ini dia membagi maslah islam dalam 3 katergori, yaitu :
1. bidang agama murni atau ibadah.
2. Bidang sosial kemasyarakatan.
3. bidang politik.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada umat islam untuk beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak menggangu kekuasaan pemerintah belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat agar mendekti belanda, bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Tetapi dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pan islam.

PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM DI INDONESIA

PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM DI INDONESIA

1. Konsep perkembangan Peradilan islam
Didalam kamus besar Bahasa Indonesia peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki pengertian yang banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara; rumah (bangunan) tempat mengadili perkara (Cik Hasan Bisri : 2000 : 2).
Dalam pengkajian Peradilan islam, terdapat berbagai konsep yang digunakan. Konsep itu merupakan suatu gagasan (idea) yang dilambangkan poleh suatu istilah tertentu, sesuian dengan bahasa yang digunakan. Ada dua istilah yang berasal dari kata dasar yang sama tetapi memiliki pengertian yang berbeda, yaitu peradilan dan pengadilan. Peradilan merupakan salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam penegakan hokum dan keadilan, yang mengacu pada hokum yang berlaku. Sedangkan pengadilan merupakan satuan organisasi yang menyelenggarakan hokum dan keadilan tersebut.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa peradilan agama adalah kekuasaan Negara dalam hal/bidang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang-orang yang beragama islam untuk menegkan hokum dan keadilan.
Perkembangn adalah perubahan structural dan cultural yang bersifat kualitatif. Kualitatif atau verbal hanya bisa dinyatakan dengan kata-kata bukan dengan nominal. Pada dasarnya, perkembangan adalah bagian dari perubahan karena perubahan mencakup berbagai aspek dan masih menjadi kata yang umum karena perubahan mempunyai banyak macamnya. Jadi, perkembangan peradilan islam adalah perubahan pada struktur perdilan yang bersifat kualitatif. Baik dari susunan, kedudukan dan wewenang dari peradilan..
Konsep dasar perkembangan peradilan terdiri dari :
1. Dasar penyelenggaraan.
2. Kedudukan dalam struktur kekuasaan Negara.
3. Susunan.
4. Kekuasaan.
5. Hukum Substansi, yaitu hokum yang berhubungan dengan kekuasaan, kekuasaan mutlak yang berhubungan dengan perkara.
6. Hukum Acara (perdata atau Pidana), yaitu hokum yang berfungsi untuk melaksanakan hokum substansi.
2. Model Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia
a. Peradilan Islam sebagai bidang kajian
Peradilan Islam merupakan salah satu studi yang terdapat pada bidang ilmu Hukum islam dan Pranata social. Peradilan islam di Indonesia secara resmi dikenal sebagai Peradilan Agama, dan mendapat perhatian dari kalangan pakar hokum islam yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian, monografi, Skripsi, Tesis, Disertasi dan buku daras. Pengkajian Peradilan Islam terlangsung sejak pranata hokum itu memiliki kedudukan yang semakin kokoh dalam pembagian kekuasaan Negara dan peranannya semakin menonjol. Bisa dilihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Ia akan menarik, karena sebagai satu-satunya pranata keislaman yang menjadi bagian dari penyelenggaran kekuasaan Negara.
b. Orientasi pengkajian
Berkenaan dengan pengkajian, diperlukan pemilihan serta penggunaan pendekatan dan metode pengkajian yang tepat. Yaitu tepat dalam pengertian dan bersesuian dengan runag lingkup maslah yang dikaji, seperti yang telah dijelaskan diatas. Dan tepat dalam pengertian bersesuaian dengan karakteristik bidang pengkajian yang merupakan bagian dari ilmu Agama Islam.
Dalam pengkajian PADI membutuhkan pembatasan wilayah pengkajian sebagaimana bidang pengkajian yang lain. Pembatasan itu sekaligus menunjukan ruang lingkup wilayah pengkajian PADI. Hal itu meberi kemungkinan untuk menentukan berbagai wilayah penelitian (research areas) dan masalah-masalah penelitian (research problems), dan metode penelitian yang tepat untuk digunakan dalam penngembangan pengkajian PADI. Secara garis besar wilayah pengkajian PADI tercermin dalam rumusan pengertiannya, yaitu “kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hokum dan keadilan”. Secara rinci ruang lingkup tersbut meliputi :
1. Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman, yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya dan dari pihak luar.
2. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, meliputi hierarki, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur lain dalam susunan organisasi Pengadilan.
3. Prosedur berperkara di Pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hokum procedural, dan produk-produknya.
4. Perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, perwakafan, dan shadaqah. Ia mencakup variasi dan sebarannya dalam berbagi badan peradilan.
5. Orang yang beragama islam sebagai pihak yang berperkara, atau para pencari keadilan.
6. Hukum islam sebagaia hukum substansial yang dijadikan rujukan.
7. Penegakan hukum dan keadilan.
c. Beberapa Model Pengkajian
Dengan pendekatan-pendekatan dan modifikasi metode penelitian, peradilan islam dapat dipahami, digambarkan, dan dijelaskan menurut kerangka berpikir tertentu yang didasrkan kepada satu atau beberapa teori tertentu; dan untuk tujuan tertentu. Berkenaan dengan hal itu, pemgkajian peradilan islan di Indonesia dapat dilakukan dengan beraneka ragam model atau bentuk. Pengkajian peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya :
1. Model pengkajian Relasional, yaitu model pengkajian yang dititikberatkan pada hubungan peradilan islam dengan pranata hokum lainnya.
2. Model Pengkajian Sosio-Hoistoris, yaitu model pengkajian yang dititikberatkan pada kronologis pertumbuhan dan perkembnagn Peradilan Islam dalam rentangan waktu tertentu.
3. Model Pengkajian Sistemik, yaitu model pengkajian ini dititikberatkan bahwa peradilan merupakan suatu kesatuan terintegrasi, yang terdiri dari berbagai unsure.
4. Model Pemgkajian Aspektual, yaitu model pengkajian yang dititkberatkan pada salah satu atau bagian dari unsure dalam sisitem peradilan.
5. Model Pengkajian Perbandingan, yaitu Model pengkajian yang dititikbertakan pada pada unsur persamaan, perbedaan, dan hubungan peradilan islam di kawasan Indonesia dengan peradilan di kawasan negara lain.
6. Model Pengkajian Analisis Yurisprudensi, pengkajian ini dititikberatkan pada pembahasan isi keputusan peradilan islam, baik putusan maupun penetapan yang telah mempunyai kekutan hokum.
3. Islam dan politik di Indonesia
Perkembangan peradilan islam di Indonesia tidak terlepas dari politik dan pengusa yang sedang berkuasa. Hal tersebut dipengaruhi dari penyebaran umat islam di berbagai Negara dan kawasan.
corak dan perkembangan peradilan islam sejalan dengan struktu, pola budaya dan perkembnagan mastarakat islam dinegara-negara yang bersangkutan. Demikian halnya di Indones, peradilan Islam mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan umat islam, komunitas terbesar dalam kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia. Oleh karena itu, peradilan Islam pada masa Kesultanan islam, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan bersifat majemuk. Kemajemukan Peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari segi penyebutannya secara resmi (tetelateur), kedudukannya dalam system peradilan secara keseluruhan, susunan organisasi pengadilan, hierarki instansial pengadilan, cakupan kekuasaanya, dan hokum acara yang erlaku didalamnya. (Cik Hasan Bisri: 1997: 95).
a. Islam datang dan berkembang
Islam datang ke Indonesia dengan cara yang baik, sehingga dapat diterima dengan baik pula oleh lapisan masyarkat Indonesia. Islam masuk ke Indonesia dengan berbagai cara seperti perdagangan, politik, pendidikan, dan perkawinan. Ciri islam dating yaitu dengan adanya makam para leluhur yang sudah terlebih dahulu meninggalkan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sudah adanya penyebaran umat islam di suatiu wilayah yaitu dengan adanya makam tersebut.
Sedangkan islam berkembang dapat dilihat dari adanya mesjid. Mesjid adalah tempat untuk beribadah atau tempat untuk melakukan perkumpulan umat islam. Dapat diketahui bahwa penghuni mesjid tersebut tidak seorang, tetapi banyak orang yang menjadi ciri bahwa penyebaran umat islam sudah berkembang dan terus bertambah sehinnga bisa menjadi kekuatan politik.
b. Islam menjadi kekuatan politik
Dalam perjalan Islam muncul, muncul berbagai pemikiran tentang Islam dalam berbagai bidang dan pranata sosial yang bercorak keislaman. Salah satu bagian dari pemikiran itu adalah bidang hukum Islam (fiqh), sedangkan pranata sosial yang bercorak keislaman itu adalah Peradilan Islam. Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola budaya, dan perkembangan masyarakat Islam di negara-negara yang bersangkutan. Dengan berkembangnya masyarakat islam, lahirlah kerajaan-kerajaan islam yang kelak menjadi kekuatan politik, yang didalamnya terdapat peradilan islam. Penyebutan, kedudukan, susunan, serta kekuasaan satuan penyelenggara peradilan Islam, yaitu Pengadilan pada masa kesultanan Islam sangat beraneka ragam, contohnya pada masa kesultanan mataram, ada pengadilan surambi karena diselenggarakan di serambi masjid agung (Cik Hasan Bisri: 1997, hal: 95-96).
c. Islam dan politik pada masa kesultanan dan penjajahan
Pada masa kesultanan, pengadilan bervariatif, sesuai dengan kebijakan sultannya masing-masing. Contoh: di banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh kadi sebagai hakim tunggal. Di Cirebon, pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili sultan, yaitu sultan sepuh, sultan anom, dan sultan penembahan Cirebon. Disamping itu, menurut Lev (1972: 10), di Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lain, para hakim agama bisanya diangkat oleh penguasa setempat. Di daerah-daerah lain, seperti di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, tidak ada kedudukan tersendiri bagi penyelenggara Peradilan Islam.
Pada masa penjajahan belanda, penamaan pengadilan sangat bervariasi, Ia disebut priesterraad, Godsdienstige reschtpaak, dan Penghoeloe gerecht. Ia merupakan penyelenggara Peradilan Islam dengan cakupan kekuasaan perkawinan dan kewarisan yang dilaksanakan secara sederhana. Menurut C. Van Vollenhoven (1981: 51), kedudukannya adalah sebagai berikut:
1. Dirangkaikan kepada peradilan gubernemen di wilayah pemerintahan langsung.
2. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah pemerintahan langsung
3. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah Swapraja.
4. Dirangkaikan kepada Peradolan Gubernemen di wilayah Swapraja.
5. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah yang tidak langsung.
(Cik Hasan Bisri: 1997, hal: 96-97).
4. Peradilan Islam pada masa kesultanan
Setelah islam menjadi kekuatan politik yaitu dengan cara masuk pada kesultanan-kesultanan, maka pimpinan kesultanan tersebut menilai bahwa pentingnya suatu peradilan yang mengatur maslah-masalah yang timbul di masyarakat khususnya perkara perdata. Dengan demikian para pemimpin terssbut mengangklat pejabat agama yang dapat mengadili perkara-perkara tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan ilsam bercorak majemuk. Kemajemukan tersebut mat bergantung pada proses islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hokum islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berad pada lingkungan kesultanan masing-masing (Cik Hasan Bisiri ; 1996: 113).
Menurut R.Tresna 1977:17) dengan masuknya agama islam ke Indonesia, maka tata hokum di Indonesia menglami perubahan. Hokum islam tidak hanya menggantikan hokum Hindu, yang berwujud dalam hokum Pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya kedalam berbagi aspek kehidupan masyarakat pada umumya
Pada masa pemerinthan sultan Agung di Mataram Peradilan dilaksanakan di surambi mesjid, sehingga peradilan pada masa ini disebut Perdailan Surambi. Peradilan ini dipimpin oleh oleh penghulu yang didampingi oleh beberapa orang ulama dari pesantern sebagai anggota majelis. Hasil dari keputusan Peradilan ini akan menjadi pertimbangan untuk Sultan Agung dalam menyelesaikan perkara. karena pada dasarnya pimpinan pengadilan tersebut adalah seorang Sultan, dan keputusan dari Sultan Agung tidak pernah bertentangan dengan keputusan dari Penghulu.
Setelah masa Sultan agung berakhir, kemudian digantikan oleh Susuhunan Amangkurat Ke I (1645), ia menghidupkan kembali pengadilan pradata. Alasannya karena dia tidak begitu suka terhadap pemuka-pemuka islam dan ia berusaha mengurangi pengaruh alim ulama dalam pengadilan.
Menurut R. Tresna (1977:18) diwaktu Amangkurat ke I, di Ibu Kota kerajaan ada 4 orang jaksa, yang harus menerima segala perkara yang diajukan dari segala sudut kerajaan dan mempersiapkannya untuk dihadapkan kepada pengadilan raja. Pengadilan Pradata, dimana perkara-perkara diadili oleh raja sendiri, hanya diadakan di Negara agung, yaitu pusat pemerintahan, ibu kota Negara.
Dalam perkembangan berikutnya pengadilan surambi masih menunjukan keberadaanya sampai masa penjajahan. Wewenang pengadilan tersebut masih terbatas yaitu menyelesaikan perselisihan dan persengketaan perkawinan dan kewarisan.
Orang-orang banten sudah memluk agama islam sebelum kekuasaan negara direbut oleh Faltehan. Sehingga pengadilan di Banten disusun menurut pengertian islam. Menurut R.Tresna (1977:23) jikalau sebelum tahun 1600 pernah juga ada bentukan-bentukaan pengadilan yang berdasar pada hukum Hindu, seperti yang mungkin pernah ada dibawah kekuasaan Pakuan Pajajran. Maka di waktu sultan Hasanudin memegang kekuasaan sudah tidak nampak lagi bekas-bekasnya sedikitpun. Bagaimanapun juga, pada anad ke 17 di Banten itu hanya ada suatu macam Pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh qadhi sebagai hakim seorang diri.
Kesultanan di Cirebon didirikan pada waktu yang hampir sama dengan kesultanan Banten. Sehingga masih terikat pada norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-Kuno.Di Cirebon,Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tuga orang sultan, yaitu sultan Anom, Sultan Sepuh dan Panembahan Cirebon. Dengan demikian, jika ada suatu persidangan maka ada bebrapa orang perwakilan dari ketiga orang Sultan tersebut. Kitab Hukum yang digunakan adalah papakem Cirebon.

.Peradilan islam pada masa kesultanan Palembang
Bagi kota palembang sebagai ibukota propinsi sumatera selatan, dimana sudah sejak dulu adanya semua kekuasaan mengadili perkara perdata bagi umat islam, yaitu di zamannya kesultanan palembang yang disebut dengan istilah nata gama sebagaimana yang ditulis oleh de roo de la faille seorang anggota raad van indie dalam bukunya dari kesultanan palembang, pimpinannya berada di tangan hakim syar’iyah yang memeriksa dan memutuskan perkara atas nama sultan.
Pangeran penghulu bertindak pula selaku penasehat syar’iyah (hukum islam) dan juru sumpah di landraad (pengadilan negeri ) dengan mempunyai hak penuh bersuara dalam memberikan pertimbangan secara hukum islam bila diperlukan. tugas-tugas pangeran penghulu sebagai berikut :
1. Urusan n.t.r. waris, wakaf umum, pengajaran agama islam;
2. Menetapkan awal ramadhon dan syawwal ( dengan membunyikan meriam) sebagai tanda akan dimulainya puasa atau hari hari raya;
3. Mengangkat penghulu-penghulu, khatib dan sekaligus dengan bisluitnya;
4. Menerima laporan dari penghulu-penghulu yang dalam wilayahnya yang menyangkut masalah zakat, fitrah, kelahiran dan kematian : juga terhadap lelaki dan perempuan yang lari untuk kawin (kawin lari) yang mendapat perlindungan dengan sepenuhnya ; sedang untuk putusan pangeran penghulu tersebut tidak ada tempat untuk dimintakan banding.
keadaan demikian cukup lama berlangsung serta berpengaruh besar terhadap perkembangan agama islam di kota palembang dan sekitarnya. tetapi setelah mulai masuknya kekuasaan belanda di palembang, maka kedudukan hakim syar’y setelah diperkecil dan dibatasi kekuasaannya, lalu dirobah menjadi kekuasaan pangeran penghulu.
5. Peradilan Islam pada masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, ada 5 tatanan peradilan. Yaitu :
a. Peradilan Gubermen. Tersebar diseluruh daerah Hindia-Belanda
b. Perdailan Pribumi, tersebar di luar jawa dan Madura yaitu di Kresidenan Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan Dan Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku, dan di Pulau Lombok dari Keresidenan Bali dan Lombok.
c. Peradilan Swapraja, tersebar hampir di seluruh daerah swapraja, kecuali Pakualaman dan Pontianak.
d. Peradilan Agama, tersebar didaerah-daerah tempat berkedudukan peradilan Gubermen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah Swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
e. Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubermen.
• Peradilan Islam tahun 1882-1937
Dalam stb 1882 no 152, dielaskan tentang pengadilan Agama di daerah Jawa dan Madura. Wewnang serta hal-hal mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan Agama Ini berdasarkan keputusan Raja Belanda yakni Willem III tanggal 19 Januari 1882 yang berisi 7 pasal. Did dalamanya ditetapkan peraturan Peradilan Agama dengan nama Piesterraden untuk Jawa dan Madura, yang selanjutnya dikenal dengan Raad, dengan wilayah kekuasaan berkaitan dengan hal Pernikahan, Segala jenis perceraian, Mahar, Nafkah, Keabsahan anak, Perwalian, Kewarisan, Hibah, Wakaf, Shadaqah, dan Baitul Mal, yang semuanya erat dengan agama Islam.
Wewenang serta hal-hal mengenai pelaksanaan keputusan dari pengadilan Agama masih sama dengan ketentuan dari Stb. 1835 No. 58 dan walaupun dalam sebutannya pengadilan ini dibentuk oleh Pemerintah namun kenyataanya sama sekali tidak memperoleh kedudukan yang sama dengan pengadilan Gubermen (Landraad dll). Pemerintah tidak menyediakan anggaran belanja namun gaji bagi petugas-petugas di dalamnya dan segala keperluan administrasi harus dicukupkan dari ongkos-ongkos perkara semata-mata. Penjabat yang mendapat tunjangan tetap hanya ketuanya saja dalam kedudukannya sebagai adviseur bij de Landraad, atau biasanya disebut “Penghulu Landraad”.(Zaini A. Nuh dan Abd Basit A., 1980:33)
Sehubungan dengan kelanjutan perkembangannya, Snouck Hurgronye (1857-1936), yang menentang teori Receptie in Complexu yang beranggapan teori ini merugikan pemerintahan Hindia Belanda. Akhirnya dia mengeluarkan teori Receptie yang mengemukakan bahwa hokum yang berlaku di Indonesia adalah hokum dapat asli, atau hokum islam berlaku kalau telah di resepsi oleh hokum adat, dengan tujuan mempersempit ruang gerak islam.
• Peradilan Islam tahun 1937-1942 (Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura)
Di indonesia, menhgadapi kenyataan bahwa pedudk Indonesi seabaaian besar adalah muslim. Dengan demikian, pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan agama, karena mereka kurang begitu mengetahui tentang keadaan umat islam. Menurut Aqib Suminto (1985: 10) kebijkasanaan untuk tidak mencampuri urusan Agama ini nampak tidak konsiisten. Karena tidak adanya garis yang jelas. Mislanya dalam masalah haji, ternyata pemerintah Belanda tidak bisa menahan diri untuk campur tangan. Mereka mencurigai para haji yang dianggap fanatik dan pemberontak.
Setelah keadatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah ketakuan pemerintah Belanda terhadap umat muslim Indonesia itu hilang. Kraena menurutnya di islam tidak dikenal lapisan kepedetaa semacam kristen. Juga tidak fanatik dari para kyai. Tetapi, ia tidak buta dengan kemampuan politik fanatisme islam. Sehingga ia membedakan islam dalam 3 bidang yaitu :
a. Bidang agama murini atau ibadah. Di bidang ini, pada dasarnya pemerintah Kolonial memberikan kebebasan kepada umat islam untuk melksanakan ajaran agamanya.
b. Bidang sosial masyarakat. Dalam bidang ini, pemerintah memanfaatkan adat dan kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat supaya mendekati Belanda, bahkan membentu rakyat untuk menempuh jalan tersebut.
c. Bidang Politk. Dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pan islam.
Karena kolonial belanda merasa bahwa Hukum Islam yang menjadi kesadaran hukum rakyat Indonesia, merupakan penghalang kepentingan kolonial, maka pemerintah belanda merasa perlu mengeliminasi Hukum Islam (keluarga), berikut lembaga yang mengatur dan menanganinya yakni Peradilan Agama. Langkah yang dilakukannya yaitu dengan rekayasa ilmiah hokum, sehingga lahirlah staatsblad 1937 No. 116 pasal 2a ayat 1 yang berlaku sejak tanggal 01 april 1937, maka kompetensi Peradilan agama menjadi lebih sempit, yang hanya terbatas dalam bidang yang berhubungan dengan perkawinan, yaitu:
1. Perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam.
2. Perkara-perkara tantang: a. nikah, b. talak, c. rujuk, d. perceraian antara orang-orang yang beragama Islam, yang memerlukan perantaraan hakim yang beragama Islam.
3. Menyelenggarakan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantung-kan (ta’liq al-thalaq) telah ada.
5. Perkara mahar atau maskawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan Staatsblad 1937 No 162 pula, lahir Peradilan di wilayah Kalimantan selatan dan Kalimantan timur, dengan nama Kerapatan Qadi ditingkat pertama, dan Kerapatan Qadi Besar di tingkat banding.
6. Peradilan Islam pada masa penjajahan Jepang
Tahun 1942, adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Jepang mengetahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Sehingga mereka bermaksud untuk mencari dukungan kepada rakyat Indonesia untuk melawan sekutu. Cara yang ditempuh Jepang untuk mencari dukungan dari penduduk Indonesia adalah dengan memberikan toleransi terhadap berkembangnya ORMAS islam. Selain itu, Jepang juga memberikan toleransi kepada muslim untuk menjadikan islam sebagai dasar negara.
Manurut Harry J. Benda (1980:165) Tujuh bulan pertama dari tahun baru menyaksikan kesibukan usaha jepang untuk memobilisasikan islam Indonesia pada tingkat rakyat pedesaan. Akan tetapi di paruhan kedua tahu itu, arti penting politik islam tampil kedepan sebagian sebagaia akibat dari konsesi-konsesi pertamayang diberikan kepada orang-orang Indonesia di Jawa. Kaum muslimin menduduki bagian yang tidak bisa diremehkan dalam organ politik baru yang diciptakan oleh pemerintah pendudukan.
Masa pemerintahan Jepang memberi beberapa kebijakan yang berkaitan dengan perundangan dan peradilan yaitu bahwa semua peraturan perundangan yang berasal dari pemerintahan belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan Peradilan Agama dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, dan kaikoo kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi, berdasarkan auran peralihan pasal 3 Bala Tentara Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 Maret 1942 Nomor 1.
Pada tanggal 29 April 1942, pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No 14 tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Nippon. Dalam pasal 1, menjelaskan bahwa Jawa-Madura telah diadakan “Gunsei Hooin” (Pengadilan Pemerintah Bala Tentara), yang terdiri dari Tihoo Hooin (Pengadilan Negri), Ken Hooin ( Pengadilan Kabupaten), Gun Hooin (Pengadilan Kewadanaan), Kaikioo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam tertinggi), Sooryoo hooin (Rapat Agama).
Pada akhir Januari tahun 1945, keduduka Peradilan Agama pernah terancam dihapuskan. Ini terjadi karena pemerintah Bala Tentara mempertanykan kinerja Penghulu. Selain itu, pada tanggal 14 April 1945 Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo Aanyo Kaigi Jhimusitsu) kedudukan Pengadilan Agama tidak diperlukan lagi karena untuk mengadili sesorang yang berhubungan dengan agamanya diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Tetapi karena pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesi menyatakan kemerdekaannya, maka keadaan tersebut tidak pernah terjadi sehingga Pengadilan Agama tetap diakui keberadaanya.
7. Peradilan Islam pada masa awal kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, merupakan awal baru perubahan dalam segala bidang. Begitupula dengan sisitem peradilan nasional, khususnya peradilan Agama. Menurut Cik Hasan Bisri (2000:122-123) hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia dihadapkan kepada Revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali akan menjajah. Disamping itu, konstitusi yang menjadi dasar penyelenggaraan badan-badan kekuasaan negara memungkinkan penundaan perubahan tersebut.Dengan penetapan Pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946 urusan Mahkamah Islam Tinggi yang berasal dari Depatemen Kehakiman kemudian diserahkan kepada Departemen Agama. Depatemen Agama tersebut didirikan pada tanggal 3 Januari 1946.
Pada tanggal 22 November 1946, Presiden menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatn Nikah, Talak dan Rujuk, menggantikan Ordonasi Pencatatan N.T.R. dahulu. Tugas ini dibebankan kepada para penghulu dan Penghulu Naib.
Dalam usaha merombak susunan Peradilan Kolonial oleh Pemerintah R.I, maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Dalam Undag-undang ini di nyatakan bahwa Peradilan di Indonesia dilakukan oleh 3 lingkungan Peradilan, yaitu Peradilan Militer, Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Zaini A. Nuh dan Basit Adnan (1980: 54) dalam undang-undang Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dinyatakan bahwa Perdailan Agama tidak akan merupakan susuna tersendiri, akan tetapi dimasukan dalam susunan Peradilan Umum secara istimewa, sebagaimana ditentukan dalam pasal 53 Undang-undang itu, yang kesimpulannya sebagi berikut :
a. perkara-perkara perdata antara orang-orang islam yang menurut Hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya harus doperiksa oleh badan-badan Peadilan Umum.
b. Pemeriksaan tersebut dalam semua tingkat Peradilan, yakni Peradilan Negara, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dilakukan oleh seorang Hakim yang eragama islan sebagia anggota yang dinagkat oleh Presiden atas usul Menetri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
Tetapi, Undang-undang ini tidak pernah berlaku. Sehingga berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 45, maka pelaksanna Peradilan Agama masih tetap didasarkan pada stb. 1882 Nomor 152. dengan demikian keberadaan Peradilan Agama masih tetap berlaku sampai masa berikutnya.
Dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia (kesatuan) menggantikan Negara Republik Indinesia Serikat pada Tahun 1949, maka pemerintah mengadakan usaha untuk kesatuan dalam bidang Peradilan secara meneyeluruh. Maka Pada tahun 1951 di dalam lingkungan Peradilan diadakan perubahan penting dengan diundangkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan dan acara pengadilan sipil. Sehninnga Peradilan Agama masih diakui keberadaanya. Selanjutnya,karena Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka untuk luar Jawa dan Madura masih berlaku Huwerijksordonantie 1932 No 4 tahun 1982 dan PP tentang Pencatatan Nikah, Taalak dan Rujuk yang berlaku.
Pada tanggal 26 oktober 1954 disahkan UU No 32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya UU RI tanggal 21 November 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar jawa dan Madura. Pada tahun 1957 dengan PP No 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Provinsi Aceh. Di Aceh dibentuk satu Mahkamah Syari’ah yang mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan Agama Islam Menurut PP No 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura. (Basiq Djalil, 2006:75).
8. Peradilan Islam pada masa Orde Lama
• Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957
Dengan PP No. 29 Tahun 1957, maka di Aceh dibentuk sebuah Mahkamah Syar’iyyah yang mnegadili perkara-perkara yang bertalian dengan agama Islam. Kemudian dengan dihapusnya Provinsi Aceh karena berdirinya NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950, maka adanya Mahkamah Syar’iyyah tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu diadakanlah Mahkamah Syar’iyyah dengan PP No. 29 Tahun 1957. Dengan keluarnya PP No. 29 Tahun 1957 ini keadaan dasar hukum Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura sangat beragam. Karena keadaan tersebut, maka untuk daerah luar Jawa-Madura (kecuali sebagian daerah KalSel dan KalTim diadakan PP No. 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama (Masya) yang isinya sama dengan PP No. 27 Tahun 1957.
Menurut PP No. 29 Tahun 1957, wewenang Pengadilan Agma meliputi :
1. Perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam
2. Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk, fasakh serta hadhanah.
3. Perkara waris,wakaf,hibah,sedekah,baitulmal dan lain-lain berhubungan dengan itu.
4. Perkara perceraian dan mengeashkan bahwa talik talak sudah berlaku.
Menurut PP No. 45 Tahun 1957 kewenangan PA di luar Jawa, Madura dan Kalsel adalah meliputi : nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman, mut’ah, hadhanah, waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal.
Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 24 UU ’45, maka keluarlah UU No 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan PP No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 PP No. 14 Tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
• Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iah di lur Jawa dan Madura. Wewenang Pengadilan Agama di Luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, meliputi :
1. Nikah. 8. Mut’ah
2. Talak 9. Hadanah
3. Rujuk 10. Perkara Waris
4. Fasakh 11. Wakaf
5. Nafkah 12. Hibah
6. Maskawin (Mahar) 13. Sedekah
7. Tempat Kediaman (Maskan) 14. Baitulmal.
• Lahirnya Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 Tentang Ketentun-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 Tentang Ketentun-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Peradilan secara terang-terangan masih ada Intervensi dari Presiden. Yaitu Presiden masih Campur Tangan atas kekuasaan kehakiman. Dalam UU N0. 1964 ini, disebutkan bahwa: “Demi kehormatan revolusi, negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak presiden dapat turut campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”

9. Peradilan Islam pada Masa Orde Baru
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada Tahun 1967. ketika itu Soeharto diangkat menjadi Presiden. Dengan demikian Soeharto memberi nama pemerintahannya dengan Orde Baru, yaitu Suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-undang Dasar 1945. selanjutnya, untuk Pemerinthan sebelumnya yaitu masa Pemerintahan Soekarno diberi nama Orde Lama.
• Lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 PP No. 14 Tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Undang-undang ini dijelaskan bahwa tidak ada campur tangan dari Kekuasaan Negara yang lain. Tidak seperti sebelumnya pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964.

• Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Lahirnya UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara RI tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan Masyarakat Indonesia. Hukum Perkawinan orang Indonesia Asli yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fikih, menurut sistem hukum Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah. Dengan lahirnya Undang-undang ini maka wewenang Pengadilan Agama bertambah, yaitu :
1. Izin seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974)
2. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat 2)
3. Izin kawin (pasal 6 ayat 5)
4. Pencegahan perkawinan (pasal 7 ayat1)
5. Penolakan perkawinan oleh petugas pecatatan perkawinan (pasal 21 ayat 3)
6. Pembatalan perkawinan (pasal 25)
7. Gugatan suami atau isteri atas kelalaian pihak lainnya dalam menunaikan kewajiban masing-masing (pasal 34 ayat 3)
8. Penyaksian talak (pasal 39)
9. Gugatan perceraian (pasal 49 ayat 1)
10. Hadhanah (pasal 41 sub a)
11. Penentuan biaya penghidupan bagi bekas isteri (pasal 41 sub c)
12. Penentuan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub b)
13. Penentuan sah tidaknya anak atas dasar tuduhan zina oleh suami terhadap isterinya (pasal 44 ayat 2)
14. Pencabutan kekuasaan orangtua (pasal 49 ayat 1)
15. Pencabutan kekuasaan dan penunjukan wali (pasal 53)
16. Pencabutan tentang soal apakah penolakan untuk melakukan perkawinan campuran oleh pegawai pencatat nikah (pasal 60).

Peradilan Agama dan Mahkamah Agung
Mahkamah agung sebagai lembaga Peradilan di Indonesia ini, dalam perjalanan sejarahnya tidak pernah lepas/mengalami citra yang tidak baik terutama pada masa Orde Baru. Sebagaimana UU No 14 tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 10, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu: a) Peradilan Umum b) Peradilan Agama c). Peradilan Militer, dan d). Peradilan Tata Usaha Negara. Ada pun mengenai proses penyelenggaraan Peradilan (Lingkungan Peradilan Agama) yang terkait langsung dengan MA adalah mengenai upaya hukum Kasasi, sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 20.
Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dijelaskan bahwasannya Peradilan secara Teknis Yudisial diawasi dan dibina oleh Mahkamah Agung, sedangkan secara Organisasi, Administrasi dan Finansial dibina dan diawasi oleh departemen masing-masing lingkungan peradilan. Pembinaan terhadap Pengadilan itu dipertegas lagi dalam ketetntuan pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 :
(1). Pembinaan Tejnis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2). Pembinaan Organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukanoleh Menteri Agama.
(3). Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam mewujudkan suatu tatanan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. UU No. 7 Tahun 1989 (sebagai peraturan perundang-undangan sebelumnya) memuat beberapa perubahan penting dalam penyelengaraan Peradilan Islam di Indonesia. Perubahan tersebut meliputi (1) dasar hukum penyelenggaraan peradilan (2) kedudukan badan peradilan (3) susunan pengadilan (4)kedudukan pengangkatan dan pemberhentian hakim (5) kekuasaan pengadilan (6) hukum acara pengadilan (7) penyelenggaraan administrasi peradilan (8) perlindungan terhadap wanita.
10. Peradilan Islam pada Masa Reformasi
Pada tahun 1997, di Indonesia terjadi pergolakan Politik. Yaitu dengan terjadinya demonstrasi oleh Mahasiswa dari seluruh Indonesia. Tujuan dari semua itu adalah menginginkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagi Presiden. Kemudian pada tahun 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presdien saat itu yaitu B.J Habiebie. Sejak itu, terjadi perubahan Struktural yang didasarkan kepada nilai-nilai dasar yang telah disepakati yaitu Reformasi. Dengan demikian berpengaruh pula terhadap Peradilan Agama di Indonesia.
Kebijakan Peradilan satu atap
Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dijelaskan bahwa Peradilan secara Teknis Yudisial diawasi dan dibina oleh Mahkamah Agung, sedangkan secara Organisasi, Administrasi dan Finansial dibina dan diawasi oleh departemen masing-masing lingkungan peradilan. Maka selanjutnya, pada tahun 1999 lahir Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 maka baik pembinaan teknis Peradilan maupun pembinaan organisasi, admministrasi dan finasial dilaksanakn oleh Mahkamah Agung, yang lebih dikenal dengan Kebijakan satu atap.
Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU Nomor 35 tahun 1999 yang isinya sebagai berikut :
(1). Badan-badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, secara organisatoris, administratif, dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2). Ketentuan mengenai organisasi, administarsi, dan finansial sebagaiamna dimaksud dalam ayat 1 untuk masing-masing lingkunagan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Dengan disyahkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 49 tersebut dirubah menjadi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.

Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. asuransi syari'ah;
d. reasuransi syari'ah;
e. reksa dana syari'ah;
f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. sekuritas syari'ah;
h. pembiayaan syari'ah;
i. pegadaian syari'ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. bisnis syari'ah.
Oleh karena itu, jelas sudah dengan adanya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ini memperluas kekuasaan Pengadilan agama, dan bukti bahwa Pengadilan Agama semakin lama semakin berkembang dan mempunyai prospek yang positive.
11. Prospek Peradilan
1. Analisis internal dan eksternal peradilan Islam
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Peradilan Islam, tugas dan wewenangnya mencakup hal-hal Perdata, bahkan lebih menyempit pada hal-hal tentang keluarga. Oleh karena itu, sempat muncul gagasan “untuk menjadikan”, PA sebagai Pengadilan Keluarga (Family Courts). Dalam bukunya (Cik Hasan Bisri, 2000:35), Cik Hasan Bisri menyatakan bahwa Pandangan itu antara lain dikemukakan oleh Bustanul Arifin dan Sutjipto Rahardjo.
Prospek PA kedepannya akan terus berkembang. Seteleh berlakunya UU Nomor 3 tahun 2006, maka wewenang PA semakin bertambah banyak. Tetapi dalam kenyataanya perkara yang paling dominan adalah perceraian. Wlaupun begitu dengan pertumbuhan penduduk dan banyaknya yang melaksanakan pernikahan, maka peluang dalam perceraian tetap besar.
2. Peradilan Islam dalam penerapan dan penemuan hukum
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sebagaimana di kutip Oleh Cik Hasan Bisri (2000:242), hukum acara adalah “rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Bila di hubungkan dengan PA, berarti hukum acara PA adalah bagaimana cara menyelesaikan masalah hukum Islam (sesuai dengan kekuasaan PA) dalam lingkungan PA.

DAFTAR PUSTAKA
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta: 1985
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia. Prenada Media Group, Jakarta: 2006
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000
_____________, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Remaja Rosdakarya, Bandung: 1997
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia (alih bahasa oleh: Zaini Ahmad Noeh), Intermasa, Jakarta: 1986
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, Jakarta: 1980
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Pustaka Kartini, Jakarta: 1993
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Pradnja Peramita, Jakarta: 1978
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia. Bina Ilmu, Surabaya: 1980