Selasa, 15 September 2009

perkawinan

PERNIKAHAN


Pernikahan merupakan suatu pekerjaaan yang harus dikerjakan oleh setiap orang yang sudah dewasa (sudah baligh), karena dengan pernikahan seseorang dapat terhindar dari perbuatan yang melanggar agama misalnya berjinah. Selain itu dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Dan juga dengan menikah kebutuhan biologis seseorang akan terpenuhi.
Sabda Rasulullah SAW :
“Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat merundukan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dillihatnya dan akan memelihara dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena dengan berpuasa hawa nafsu terhadap perempuan akan bekurang”. (Riwayat Jamaah Ahli Hadis)

1. Pengertian
Nikah secara terminologis berarti mengumpulkan (al-adhamm) dan menggauli (al-wath), dalam pengertian majaz orang menyebut nikah dengan akad, sebab akadlah yang membolehkan (orang melakukan) senggama. Sedangkan secara etimologis terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Menurut Imam Hanafiah nikah adalah akad yang memberikan faedah memiliki, bersenang-senang dengan sengaja. Imam Syafi’ah berpendapat bahwa nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum dibolehkannya watha’ (senggama) dengan lafadz nikah atau tajwiz atau yang semakna dengan keduanya. Imam Malikiah berpendapat bahwa nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha’ (senggama), bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri wanita yang membolehkan nikah dengannya. Menurut Imam Hambali nikah adalah akad yang mempergunakan lafadz nikah atau tajwiz untuk membolehkan manfaat bersenang-senang dengan wanita. Sedangkan menurut Undang-undang pekawinan nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Menurut bahasan nikah diatas dapat disimpulakan bahwa nikah yaitu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 3 :
فا نكحوا ما طا ب لكم من النسا ء مثني و ثلث و ر بع فا ن خفتم الا تعد لوا فوا حد ة

“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja”.

Nikah juga merupakan salah satu asas pokok hidup paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami dengan dan keturunannya melainkan antara dua keluarga.

2. Tujuan Nikah
Adapun tujuan nikah secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Menyalurkan Naluri Seks
Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting seks, hanya kadar dan intensitasnya yang berbeda. Naluri seks merupakan naluri terkuat yang selamanya menuntut jalan keluar. Orang yang tidak bisa mencari jalan keluar untuk memuaskannya sering mengalami kegoncangan dan kekacauan, bahkan tidak jarang seseorang melakukan kejahatan karenanya. Dengan pernikahan seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsunya kepada seorang perempuan denang sah dan begitu pula sebaliknya dan deangan menikah badan menjadi sehat dan segar, jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari melihat hal-hal yang haram.

b. Memperoleh Keturunan
Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita, nikah merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan keturunan mulia. Melalui pernikahan keturunan menjadi banyak kehidupan menjadi lestari dan keturunan terpelihara sehingga kelangsungan kehidupan suatu negara atau bangsa dapat terwujud. Akan tetapi perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat dari Allah SWT, walaupun dalam kenyataanya ada seorang yang ditakdirkan untuk tidak mempunyai anak.

c. Memperoleh Keturunan yang Shaleh
Keturunan yang shaleh bisa membahagiakan kedua orang tua baik didunia maupun akhirat kelak. Dari anak ynag diharapkan oleh orang tua hanyalah ketaatan, akhlak, ibadah dan sebagainya yang bersifat kejiwaan. Hanya anak shalehlah merupakan bagian dari amal seseorang yang akan bhermanfaat setelah ia meninggal.

d. Memperoleh Kebahagian dan Ketentraman
Dalam kehidupan kelurga perlu adanya ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan lahir bathin. Dengan keluarga yang bahagia dan sejahtera akan dapat mengantarkan pada ketenangan ibadah. Firman Allah SWT dalam Q.S Al-A’raf ayat 189 :
هو الذ ي خلقكم من نفش وا حد ة وجعل منها زوجها ليسكن اليها

“Dialah yang menciptakan kamu dan diri yang satu dan darinya dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya”.

e. Mengikuti Sunnah Nabi
Nabi Muhammad SAW menyuruh kepada umatnya untuk menikah sebagaimana disebutkan dalam hadis :
“Nikah itu adalah sunahku, maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunahku dia bukan umatku”.

f. Menjalankan Perintah Allah SWT
Allah SWT menyuruh kepada kita untuk menikah apabila telah mampu.

g. Untuk Berdakwah
Nikah dimaksudkan untuk berdakwah dan penyebaran agama Islam membolehkan seorang muslim menikahi perempuan Kristiani, Katolik, Budha atau Hindu. Akan tetapi melarang perempuan muslimah menikah dengan pria Katolik, Kristiani, Budha atau Hindu. Hal ini atas dasar pertimbangan pada umumnya pria itu lebih kuat pendiriannya daripada wanita. Disamping itu pria adalah sebagai kepala rumah tangga, demikian menurut pertimbangan hukum Syadual Dzaariah.

3. Jenis-jenis Nikah
Sesungguhnya pernikahan dalam Islam hanyalah satu untuk melaksanakan perintah Allah SWT, agar tercapai ketentraman hidup rumah tangga, keharmonisan, ketenangan jiwa menuju kebahagiaan dunia akhirat. Dalam pembahasan ini akan dibicarakan jenis-jenis pernikahan yang dilarang syara’ dan pernikahan yang rusak berikut hukumnya :
a. Beberapa Nikah yang Dilarang oleh Syara’
1. Nikah Pertukaran (Sigar)
Para ulama fiqih telah sepakat nikah pertukaran (sigar) ialah apabila seorang laki-laki menikahkan seorang perempuan di bawah kekuasaannya dengan lelaki lain dengan syarat bahwa lelaki ini juga harus menikahkan perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa adanya mahar pada kedua pernikahan, kecuali jika alat kelamin perempuan itu menjadi imbangan bagi alat kelamin perempuan lainnya. Hokum nikah semacam itu menurut kesepakatan para ulama adalah haram, akan tetapi mereka berselisih paham apabila terjadi pernikahan semacam ini.
Imam Malik berpendapat bahwa pernikahan semacam ini tidak dapat disahkan dan selamanya harus di fasakh (dibatalkan) baik setelah atau sebelum terjadi pergaulan (hubungan kelamin). Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i hanya ia bependapat bahwa jika untuk salah satu pengantin atau keduanya bersama disebutkan suatu mahar, maka pernikahan menjadi sah dengan mahar misil sedangkan mahar yang telah disebutkan menjadi rusak.
Imam Hanafiah berpendapat bahwa nikah sigar dengan memberikan mahar misil. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Al-Lais, Ahmad, Ishak, Abu Saur, Ath Thabari. Imam Malik seolah-olah berpendapat bahwa mahar meski pun tidak menjadi syarat sahnya nikah, rusaknaya akad nikah disini karena rusaknya mahar merupakan suatu hal yang khusus karena temasuk dalam larangan. Atau seolah-olah bahwa larangan tersebut hannya berkenaan dengan penentuan akad nikah itu sendiri sedangkan larangan itu menunjukan rusaknya perbuatan yang dilarang.

2. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan nikah yang dilakukan dalam waktu tertentu dan bersifat sementara. Tentang larangan nikah mut’ah sebenarnya bersifat mutawatir tetapi masih diperselisishkan tentang waktu terjadinya larangan tersebut. Riwayat pertama menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melarangnya ketika terjadi perang khabar, kedua menyebutkan pada tahun kemenangan (Amul Fathu), ketiga menyebutkan pada tahun dilaksanakannya Haji Wada’, keempat mengatakan pada tahun dilaksanakannya Umrah Wada’ sedangkan kelima menyebutkan bahwa ketika tejadi Perang Autas.
Kebanyakan para sahabat dan para fuqaha mengharamkan nikah mut’ah ini tetapi Ibnu Abbas membolekannya yang diikuti oleh para pengikutnya dari ulama Mekah dan Yaman. Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 24 :

“ Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kaum terhadap sesuatu yang telah saling merelaknya sesudah menetukan itu”.

3. Nikah Muhallil
Yang dimaksud dengan nikah muhallil adalah nikah untuik menghalalkan mantan istri yang telahditalak tiga kali. Dalam hal nikah muhallil ini Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil tersebut dapat difasakh sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil itu adalah sah. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan pandangan mereka dalam memahami pengertian (mafhum) dari sabda Rasul SAW bahwa “ Allah mengutuk orang yang nikah muhallil ”.
Bagi fuqaha yang mengalami kutukan tersebut hanyalah dosa semata, mereka bependapat bahwa nikah muhallil itu sah akan tetapi bagi fuqaha yang memahami tentang kutukan itu sebagai rusaknya nikah karena disamakan deangan larangan yang menunjukan rusaknya perebuatan yang dilarang maka mereka mengatakan bahwa nikah muhallil itu tidak sah.

4. Pinangan
Mengenai perbedaan pendapat tentang pernikahan yangn terjadi pinangan atas pinangan orang lain ada beberapa macam pendapat. Pertama bahwa nikah tersebut difasakh, pendapat kedua bahwa pernikahan tersebut tidak difasakh, ketiga mengadakan pemisahan apakah peminangan kedua dilakukan sesudah adanya kecenderungan dan mendekati adanya pemufakatan atas pinangan pertama atau tidak, pendapat ini dikenukakan oleh Imam Malik.

b. Beberapa Nikah yang Rusak Berdasarakan Pemahaman Syara’
Nikah –nikah yang rusak berdasarkan pemahaman syara’ artinya larangan yang tidak disebut secara eksplisit, maka kerusakan tersebut bisa terjadi karena bermacam-macam sebab, seperti tidak terpenuhinya salah satu syarat sahnya nikah atau mengubah salah satu hokum yang diwajibkan oleh syara’ atau karena adanya suatu tambahan yang mengakibatkan batalnya salah satu syarat sahnya nikah. Para ulama fiqih sependapat bahwa tambahan-tambahan yang diadakan dalam pengertian ini tidak merusak nikah. Mereka hanya berselisih pendapat tentang mengikat atau tidaknya syarat-syarat yang demikian seperti syarat tidak boleh memadukan istri dari negeri tempat tinggalnya.
Imam malik berpendapat bahwa jika disyaratkan demikian, maka syarat tersebut tidak mengikat kecuali jika disertai syarat-syarat pembebasan hamba atau perceraian maka syarat tersebut mengikatnya. Jika ia menceraikan atau memerdekakan orang yang menjadi objek sumpah, maka syarat yang pertama juga tidak mengikat. Demikian juga pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanifah. Al-Auza’i dan Ibnu Syubrumah berpendapat bahwa istri boleh mengadakan syarat dan suami harus memenuhinya. Ibnu Shihab berkata “Para ulama yang saya temui menetapkan demikian”.

4. Syarat-syarat dan Rukun Nikah
a. Syarat-syarat Nikah
Syarat-syarat pernikahan itu merupakan dasar sahnya pernikahan. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka sahlah pernikahan dan menimbulkan kewajiban dan hak sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat sah pernikahan itu ada dua yaitu :
 Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya keduanya calon pengantin adalah orang yang bukan haram dinikahi, baik karena haram untuk sementara atau selamanya.
 Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.

Dalam masalah syarat pernikahan ini terdapat beberapa pendapat diantara para mazhab fiqih yaitu sebagai berikut :
 Imam Hanafiah mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan berhubungan dengan sigat dan sebagian lagi berhubungan dengan akad serta sebagian lainnya berkaitan denagan saksi.
 Imam Syafi’i mengatakan bahwa syarat-syarat pernikahan itu ada yang berhubungan dengan sigat, ada juga yang berhubungan dengan wali serta ada yang berhubungan dengan kedua calon pengantin ada lagi yang berhubungan dengan saksi.

Adapun secara umum syarat-syarat nikah yaitu sebagai berikut :
a. Mempelai laki-laki dengan syarat :
 Bukan muhrim dari calon istri.
 Tidak terpaksa.
 Jelas orangnya atau laki-laki.
 Tidak dalam keadaan ihram atau haji.
 Berumur 19 tahun menurut UU. No.3 tahun 1991.
b. Mempelai perempuan dengan syarat :
 Tidak ada mani syar’i, misalnya :
 Tidak bersuami.
 Tidak dalam keadaan iddah.
 Bukan makroh.
 Merdeka/tidak terpaksa
 Jelas dan tentu orangnya.
 Tidak dalam keadaan ihram atau haji.
 Berumur 16 tahun menurut UU. No.3 tahun 1991.
c. Wali
 Laki-laki dan mempunyai hak kewalian.
 Baligh.
 Tidak dipaksa.
 Sehat akalnya.
 Adil.
d. Dua orang saksi
 Laki-laki.
 Baligh.
 Sehat akalnya.
 Adil.
 Dapat mendengar.
 Tidak dipaksa.
 Memahami ijab qabul.

b. Rukun Nikah
Para ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas :
 Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
 Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya.
 Adanya dua orang saksi, pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang yang menyaksikan akad nikah tersebut.
 Sigat akad nikah yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Imam Malik berpendapat bahwa rukun nikah itu ada empat macam yaitu :
 Wali dari pihak perempuan.
 Mahar (maskawin).
 Calon pengantin pria dan wanita.
 Sigat akad.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa rukun nikah ada lima macam yaitu :
 Calon pengantin laki-laki.
 Calon pengantin perempuan.
 Wali nikah.
 Dua orang saksi.
 Sigat akad nikah.

5. Hikmah Nikah
Sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia untuk memakmurkan bumi dengan memperbanyak keturunan dalam keluarga. Islam menganjurkan pernikahan karena mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Hanya dengan menikahlah hubungan antara pria dan wanita menjadi sah. Adapun pengaruh pernikahan bisa dilihat dari beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya antara lain sebagai berikut :
 Sesungguhnya naluri seks yang paling kuat dan keras yang menuntut jalan keluar, bilamana jalan keluar itu tidak dapat memuaskan maka menimbulkan kegoncangan dan kekacauan sehingga banyak orang yang mengambil jalan pintas dengan melakukan perbuatan jahat.
 Menikah adalah jalan yang terbaik untuk menjadikan anak-anak yang mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang sangat diperhatikan oleh Islam.
 Naluri kebapaan dan keibuan tumbuh saling melengkapi dalam suasanan hidup dan anak-anak juga akan tumbuh perasaan ramah, cinta dan sayang yang menyempurnakannya kemanusiaan seeorang.
 Menimbulkan tanggung jawab dan rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tangung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari pendapatan yang bisa memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
 Adanya pembagian tugas yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga sedangkan yang satu bekerja diluar sesuai dengan batas dan tanggung jawab sebagai suami istri dalam menangani tugasnya masing-masing.
 Menumbuhkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan kasih sayang antar keluarga serta memperkuat hubungan kemasyarakatan yang direstui Islam.

6. Segat (Ijab Qabul)
a. Pengertian
Segat secara bahasa berarti mengikat antara satu dengan yang lain atau tali ikatan. Secara istilah yaitu ijab qabul yang disyariatkan dalam perkawinan mneurut agama (Islam). Pengertian dalam istilah lain yaitu terhimpunnya (persyaratan serah terima diantara dua pihak atau kedua belah pihak).


b. Rukun Segat (Ijab Qabul)
 Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar/ucapkan dari salah satu seorang yang berakad untuk menggambarkan kehendaknya didalam akad siapa saja yang memulainya.
 Qabul ialah yang terbit dari yang lain setelah adanya ijab untuk menerangkan persetujuannya.

c. Syarat Ijab dan Qabul (Segat)
Ijab maupun qabul mempunyai syarat paling tidak ada 4 yaitu :
 Bahasanya dimengerti oleh kedua belah pihak atau semua pihak terang pengertiannya dan tidak kabur.
 Bertautan adanya persesuaian antara ijab dan qabul.
 Tidak terhalang dari ijab kepada qabul.
 Harus menggambarkan kesungguhan/kemauan dari pihak yang bersangkutan (muta’akidain).

d. Pelaksanaan Ijab dan Qabul
 Orang yang hadir
 Normal, dimana orang yang normal ini mengucapkan ijab dan qabul dengan lisan.
 Tidak normal, dimana orang yang tidak normal ini mengucapkan ijab dan qabul dengan tulisan/isyarat/kinayah.
 Orang yang tidak hadir
 Dengan lisan melalui telepon atau pesawat.
 Dengan wakil dengan atas nama.
 Dengan tulisan, tulisan lebih baik dibandingkan dengan ucapan baik dengan orang normal maupun tidak normal, karena tulisan lebih menunjukan kepada arti maksud utama dibandingkan dengan menggunakan isyarat.
7. Wali Nikah
a. Pengertian
Wali adalah orang yang berhak mengawinkan seseorang perempuan kalau ada dan sanggup melaksanakannya bila tidak mau menjadi wali dengan tanpa alasan maka perwalian pindah kepada yang lain dengan urutan sebagai berikut :
1. a. Ayah
b. Kakek, dimana ayah dan kakek ini disebut dengan wali mujbir
2. a. Saudara laki-laki seibu sebapak/sebapak saja.
b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah atau seayah saja.
c. Saudara laki-laki dari ayah.
d. Anak laki-laki dari ayah.
3. a. Paman atau uwa bapak.
b. Anak laki-laki dari paman atau uwa.
4. a. Paman dari kakek
b. Anak laki-laki dari paman kakek.
c. Hakim.

b. Syarat-syarat Wali
 Islam, orang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali.
 Baligh/dewasa (sudah berumur 15 tahun).
 Berakal.
 Merdeka.
 Laki-laki (menurut hadis riwayat ibnu majah dan daruqutni).
 Adil.

c. Istilah wali
 Wali Mujbir adalah wali yang punya hak ijbad mengawinkan walaupun memaksa putrinya yang masih gadis untuk dinikahkan tanpa persetujuan putrinya.
 Wali Adhol adalah wali yang tidak mau mengawinkan dengan tanpa alasan padahal anak telah saling mencintai.
 Wali Hakim adalah wali yang mengawainkan kedua calon mempelai pengantin karena tidak punya wali/gaib/mati atau adhol dan mempelai tidak sabar.

Catatan :
 Imam Hanafi berpendapat semua wali adalah mujbir bagi orang gila kecil atau dewasa jika seorang perempuan gila dan mempunyai anak maka anak itu menjadi wali.
 Imam Syafi’i berpendapat tak ada nikah tanpa wali dan wali menjadi syarat sahnya nikah.
 Imam Hanifah Ju’far Asy-Sab’i Az-Zuhri berpendapat seorang perempuan nikah tanpa wali tapi suaminya sepupu maka sah nikahnya.
 Imam Daud berpendapat untuk menikahkan gadis harus pakai wali sedangkan menikahkan janda boleh tanpa wali.

8. Mahar (Mas Kawin)
Mahar ialah pemberian sesuatu dari pihak laki-laki sesuai dengan permintaan pihak perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf, dan merupakan hak wanita yang berhubungan dengan pernikahan. Karena dengan menerima mahar, artinya ia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang baru saja mengawininya.
Mahar bisa berbentuk uang, barang, benda, dan hal-hal lain yang bermanfaat (jasa), tidak dibatasi besarnya akan tetapi mempermahal mahar adalah suatu hal yang dibenci Islam, karena akan mempersulit hubungan perkawinan diantara sesama manusia.
a. Nama-nama lain Mahar
 Sodak, dalam Q.S. An-Nisa : 4
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

 Nihlah, dalam Q.S. An-Nisa : 4
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

 Ujroh, dalam Q.S. An-Nisa : 24

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

 Kintor, dalam Q.S. An-Nisa : 20

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”

 Faridhoh, dalam Q.S. Al-Baqarah : 237

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”

b.Jenis-jenis Mahar
 Mahar Mutsamma ialah mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati oleh kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai bisa juga ditangguhkan sesuai dengan persetujuan istri.
 Mahar Mitsil (mahar sebanding) ialah mahar yang besarnya tidak ditentukan, tetapi dibayar secara pantas dan sesuai dengan kedudukan istri dan kemampuan suami.

9. Nusyuz dan Syiqaq
Kebahagiaan adalah sesuatu yang dituju manusia. Apapun pekerjaan yang dikerjakan selalu dikaitkan dengan obsesi kebahagiaan tadi. Kebahagiaan adalah mitos kehidupan, oleh karena itu segala tingkah laku, gerak langkah, selalu berorientasi ke arah itu walaupun dalam aplikasinya memakai cara yang berlawanan dengan tujuan tadi. Akan tetapi, perjalanan perkawinan tidaklah selalu tenang dan menuenangkan, adakalanya kehidupan perkawinan begitu ruwet dan memusingkan. Hal tersebut disebabkan dari tidak dipenuhinya unsur atau hilangnya perasaan saling cinta dan kasih sayang tadi. Perkawinan seperti halnya sebuah biduk yang mengarungi lautan bebas yang luas penuh dengan segala gangguan dan marabahaya.
Dalam mengatasi kemelut rumah tangga, Al-qur'an memberi petunjuk sebagai berikut:
a. Yang Disebabkan oleh Istri
Dalam menghadapi istri yang membangkang yang tidak mau tunduk terhadap kepemimpinan suaminya selalu melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, Al-qur'an memberikan cara untuk mengatasinya dengan cara menundukan persoalan dan mengembalikan wanita pada peranannya semula. Inilah kewajiban suami untuk mengatasinya agar masalah ini tidak tersiar keluar dan tidak merugikan nama baik keduanya. Cara menghadapi istri yang suka membangkang adalah dengan cara sebagai berikut:
 Memberi nasehat.
 Mengisolasikan.
 Memberi pelajaran fisik.

b. yang disebabkan oleh suami
Apabila kemelut keluarga diakibatkan oelh suami, Al-qur'an memberikan jalan keluar. Apabila si istri melihat adanya sikap acuh tak acuh pada suaminya hendaklah dia berusaha dengan segala cara, umpamanya mengajak suaminya berunding untuk mencari jalan keluar damai. Kalau perlu istri bersikap sedikit mengalah agar rumah tangganya selamat. Sesuatu yang sukar, namun kalau dia sadar bahwa rumah tangga lebih utama dibandingkan yang lainnya, maka bersikap mengalah adalah pilihan terbaik. Dalam hal ini Al-qur'an membei petunjuk dalam Q.S. An-Nisa ayat 128:
وان ا مراة خا فت من بعلها نشو ز او اعراضا فلا جناح عليهما انيصلها بينهما صلحا والصلح خير.....


Artinya:
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz dan sikap acuh tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa keduanya mengadakan perdamaian yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya perdamaian itu lebih baik bagi mereka".

Cara mengatasi kemelut rumah tangga selama perselisihan itu tidak menjurus ke arah perselisihan yang hebat, sebaliknya diselesaikan oleh keduanya, tanpa melibatkan orang lain apalagi ke pengadilan. Hal ini karena cara terakhir lebih bersifat konfrontatif dibandingkan menyelesaikan masalah dan malah mungkin menimbulkan masalah lain.

BAB II
TALAK


1. Pengertian Talak
Secara bahasa talak berasal dari kata ا طلا ق yang artinya melepaskan atau meninggalkan tali perkawinan. Sedangkan secara istilah talak berarti melepaskan ikatan perkawinan, melepaskan tali/akad perkawinan atau bubarnya perkawinan. Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam, akad nikah diadakan untuk selamanya dan seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati curahan hati kasih saying dan dapat memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik.
Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami istri maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak dan disepelekan. Ssetiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam karena talak merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri. Olek karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami istri sebaiknya bisa diselesaikan hingga tidak terjadi perceraian karena bagaimanapun baik suami ataupun istri tidak menginginkan hal itu terjadi. Lebih-lebih sebuah hadis menjelaskan bahwa meskipun talak itu halal tetapi sesungguhnya perbuatan itu dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:

عن ابن عمر ا ن ر شو ل ا لله ص.م قا ل ابغض الحلا ل الي الله الطلا ق (ر واه ابوداود والحا كم وصححه)
Artinya:
"Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah SWT adalah talak".

Adapun sebab-sebab terjadinya talak atau terputusnya ikatan perkawinan yaitu:
a. Karena kematian.
b. Karena cerai.
c. Karena putusan pengadilan disebabkan oleh:
 Karena tekanan ekonomi.
 Karena penganiayaan.
 Karena hilang/mafqud/dipenjara dan hilangnya selama 2 tahun tanpa ada berita tentang suaminya dari siapapun.

2. Pemilik Talak
Talak dalam Islam kita ketahui bahwa ikatan pernikahan merupakan ikatan yang suci dan kuat serta mempunyai tujuan antara lain adalah persatuan bukan perpisahan. Diperbolehkannya talak hanyalah dalam keadaan tertentu saja apabila tidak ada jalan lain yang lebih baik selain talak. Kenyataan-kenyataan seperti itu mengancam keselamatan pernikahan. Bila talak dibolehkan hal itu akan membahayakan kedua belah pihak, lebih berbahaya lagi bila talak dibebaskan begitu saja. Oleh karena itu, Islam datang dengan masalah talak sesuai dengan konsep pokok sebagai berikut:
a) Talak tetap ada di tangan suami sebab suami mempunyai sikap rasional sedangkan istri bersifat emosional.
b) Talak dijatuhkan oleh suami atau pihak lain atas nama suami seperti Pengadilan Agama.
c) Istri berhak mengajukan talak kepada suami dengan alasan tertentu lewat Qadi (Pengadilan Agama).
d) Talak bisa kembali lagi antara kedua suami istri sesuai dengan ketentuan agama.
e) Bagi mantan istri ada masa iddah dan memiliki hak menerima mut'ah dan nafkah dari mantan suami.

3. Hukum Talak
Pada dasarnya hukum talak secara umum adalah boleh akan tetapi sesuai dengan keadaan suami istri, maka hukum talak dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Talak hukumnya makruh, bila dijatuhkan oleh suami kepada istri dalam keadaan:
 Suci yang belum dicampuri.
 Jelas sedang hamil.
b. Talak hukumnya wajib, bila diputuskan oleh hakamain atau qadi (Pengadlian Agama) dan talak dengan alasan-alasan principal yang dibolehkan syara'.
c. Talak hukumnya sunnah, bila suami tidak bisa memberikan nafkah dan istrinya tidak bisa menjaga diri.
d. Talak hukumnya haram, bila dalam keadaan:
 Istri dalam keadaan haid atau nifas.
 Istri suci tetapi sudah dicampuri dan belum jelas hamil atau tidaknya.
 Talak tiga dengan satu kalimat.
 Talak tiga dengan beberapa kalimat tetapi dalam satu majelis.

4. Macam-macam Talak
Secara garis besar ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Talak raj'i.
2. Talak ba'in.
Dari dua macam talak tersebut kemudian bisa dilihat dari beberapa segi antara lain:
a. Dari segi masa iddah, ada 3 yaitu:
 Iddahnya haid atau suci.
 Iddahnya karena hamil.
 Iddahnya dengan bulan.
b. Dari segi keadaan suami, ada 2 yaitu:
 Talak mati.
 Talak hidup.
c. Dari segi proses atau prosedur terjadinya, ada 3 yaitu:
 Talak langsung oleh suami.
 Talak tidak langsung. Lewat qadi (Pengadilan Agama).
 Talak lewat hakamain.
d. Dari segi baik tidaknya, ada 2 yaitu:
 Talak sunni adalah talak yang sesuai dengan sunnah.
 Talak bid'y adalah talak yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan nabi.

1. Talak Raj'i
Yang dimaksud dengan talak raj'i adalah talak yang suami boleh kembali kepada bekas istrinya tanpa melakukan perkawinan yang baru selama masih dalam masa iddah seperti talak kesatu dan talak yang kedua. Oleh karena itu, apabila istri telah diceraikan dua kali kemudian dirujuk atau dinikahi setelah sampai masa iddahnya sebaiknya ia tidak diceraikan lagi. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat: 229:

الطلاق مرتان فامسا ك بمعروف اوتسريح باحسن....
Artinya:
"Talak yang dapat diruju dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik".

2. Talak Ba'in
Talak ba'in ada dua macam yaitu:
a. Talak ba'in sughra yaitu talak yang tak dapat dirujuk kembali kecuali dengan melangsungkan akad nikah yang baru seperti talak dengan 'iwadl atau talak terhadap istri yang belum digauli. Mantan suami boleh dan berhak kembali kepada mantan istrinya yang telah ditalak ba'in sughra dengan akad nikah dan mahar baru, selama ia belum menikah dengan laki-laki lain. Adapun yang termasuk ke dalam bagian talak ba'in sughra adalah:
 Talak karena fasakh yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Agama.
 Talak pakai I'wadl (ganti rugi) atau talak tebus berupa Khuluk. Adapun besarnya iwadl maksimal sebesar apa yang pernah diterima oleh istri, khuluk bisa lewat hakim di Pengadilan Agama atau Hakamain.
 Talak karena belum dikumpuli, istri yang ditalak dan belum digauli maka baginya tidak membawa iddah. Jadi bila ingin kembali maka harus akad nikah baru.
b. Talak ba'in kubra yaitu talak tiga , talak ini tidak dapat dirujuk kembali kecuali bekas istrinya sudah kawin lebih dahulu dengan laki-laki lain dan perkawinan itu telah berjalan dengan baik artinya suami telah menggaulinya sebagaimana layaknya orang bersuami istri kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya. Dengan demikian seseorang dapat menikah kepada bekas istrinya yang ditalak tiga apabila memenuhi 4 syarat yaitu:
 Wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, disyaratkan juga bahwa laki-laki lain tersebut bukan kawin sekedar diupah atau disuruh oleh bekas suami pertama akan tetapi benar-benar atas dasar cinta, kasih dan sayang.
 Perkawinan itu sudah memasuki proses bergaul.
 Sudah bercerai dengan suami yang kedua.
 Telah habis masa iddahnya.

BAB III
IDDAH

1. Pengertian
Iddah berasal dari kata "Adda" yang artinya menghitung, maksudnya ialah perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Sedangkan menurut kompilasi hukum islam, memberi definisi iddah sebagai berikut :
“Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya atau beberapa kali suci/haid, atau beberapa bulan tertentu.”
Sedangkan menurut istilah Fiqh iddah ialah waktu tunggu bagi wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya, untuk mengetahui dengan yakin bebas atu tidaknya wanita itu dari hamil atau bagi wanita yang sudah putus haidnya dimaksudkan semata-mata ta’abud kepada hukum Allah. Iddah dalam istilah agama mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya.
Jadi, iddah artinya suatu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai hidup atau cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi anak maka dalam waktu beriddah itu akan kelihatan tandanya, itulah tandanya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan. Andai kata ia menikah dalam masa beriddah, tentu dalam rahimnya akan tercampur dua sel, yaitu sel suami yang pertama dan sel suami yang kedua, dan bila anaknya lahir, maka anak itu dinamakan anak subhat, artinya anak yang tidak tentu ayahnya dan pernikahannya tidak sah.
Hukum Islam mewajibkan beriddah bagi wanita setelah perkawinannya itu putus, baik sebab meninggalnya suami, bercerai dengan suaminya, maupun sebab keputusan pengadilan, dan mengenai masalah iddah ini, sudah dikenal pada masa jahiliyah, mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah, lalu ketika Isalm datang kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan padanya dan hal ini disepakati oleh para ulama, bahwa iddah itu wajib hukumnya, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah ayat 228:

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

2. Macam-macam Iddah
Menurut sebab musababnya, iddah itu terbagi atas beberapa macam antara lain:
1. Iddah istri yang belum disetubuhi. Perempuan (istri) tertalak, tapi belum pernah disetubuhi, ia tidak punya iddah. Jika isteri yang belum disetubuhi di tinggal mati suaminya, maka ia harus beriddah seperti iddahnya orang yang sudah disetubuhi.
2. Iddah Perempuan Yang Haid. Jika perempuannya bisa haid, maka iddahnya tiga kali quru’, Lafazd quru’ jamak dari qur’un artinya haid, hal ini dikuatkan oleh Ibnu Qayyim, kata beliau “ kata qur’un hanya digunakan oleh agama dengan arti haid, karena itu, maka memahami kata qur’un dalam ayat diatas menurut yang popular dari titah agama adalah lebih baik bahkan haruslah begitu.
3. Iddah Perempuan Yang Tidak Haid. Perempuan- perempuan yang tidak haid, iddahnya selama tiga bulan, ini berlaku buat perempuan, anak- anak yang belum baligh, dan perempuan tua tapi tidak haid, banyak perempuan ini sama sekali ini tidak haid sebelumnya atau kemudian terputus haidnya. Dalam hal ini tidak digolongkan quru’ sedikitpun.
4. Iddah Perempuan Haid, Tapi Tidak Terlihat Haidnya. Jika perempuan- perempuan yang haid di thalaq oleh suaminya, kemudian ia tidak mengalami haid seperti biasanya, dan tidak tahu apakah sebabnya, maka iddahnya setahun,dia menahan diri selama sembilan bulan agar dapat diketahui kebersihan kandungannya, karena dalam masa selama ini, biasanya merupakan masa hamil, jika ternyata tidak hamil dalam masa tersebut, maka dapatlah diketahui bahwa ia bersih, kemudian setelah sembilan bulan ini ia beriddah seperti iddahnya perempuan haid yang telah putus, yaitu tiga bulan, demikianlah putusan yang pernah diambil oleh Umar bin Khatab.
5. Iddah Perempuan Hamil, habisnya iddah perempuan hamil ialah setelah melahirkan, baik karena thalaq atau kematian suaminya.
6. Iddah Perempuan karena kematian suaminya. Perempuan yang kematian suaminya, iddahnya empat bulan sepuluh hari, asal ia tidak hamil, karena firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 234:

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

7. Iddah Wanita Yang Kehilangan Suaminya. Bila ada seorang perempuan yang kehilangan suaminya, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada, apakah ia telah mati atau masih hidup, maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya, setelah itu hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.
8. Iddah Perempuan Yang di I’la. Bagi perempuan yang di I’la, timbul perbedaan pendapat, apakah ia harus menjalani iddah atau tidak. Jumhur fuqaha mengatakan, bahwa ia harus menjalani iddah, tapi sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama empat bulan, pendapat ini pula dijadikan pegangan oleh sebagian fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas ra, dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk tidak mengetahui kosongnya rahim, sedang kekosongan ini sudah dapat diketahui dari masa tersebut.
9. Iddah Perempuan Yang Istihadah. Bagi wanita mustahadah, ia hendaknya menunggu habisnya iddah berdasarkan pengalaman haidnya, maksudnya kalau ia sudah pernah mengalami haid, maka hendaklah ia perhatikan berapa lama haidnya itu, dan berapa lama sucinya. Nah,.. kalau ia menunggu iddah, rasanya sudah melewati masa tiga kali haid yang biasa ia alami, maka berarti iddahnya sudah habis. Adapun wanita mustahadah yang sudah tidak akan mengalami haid lagi, maka selesainya iddah ialah tiga bulan sepuluh hari.

3. Kewajiban Mantan Suami / Istri Selama Masa Iddah.
1. Kewajiban Mantan Suami.
a. Memberikan belanja baik untuk pangan, sandang, maupun untuk tinggal bagi mantan istrinya yang termasuk talaq raj’i.
b. Memberikan tempat tinggal bagi mantan istrinya yang di talaq tiga, atau talaq tebus dalam keadaan tidak mengandung.
c. Memberikan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi mantan istrinya yang ditalaq tiga atau talaq tebus dalam keadaan hamil.
2. Kewajiban Mantan Istri .
a. Tinggal dirumah yang disediakan oleh mantan suaminya.
b. Berkabung atas meninggalnya suami.
c. Tidak boleh menerima pinangan, kecuali pinangan bekas suaminya bagi talaq raj’i.
d. Dapat menjaga diri.

4. Hak Perempuan Dalam Iddah.
1. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal (rumah),pakaian dan segala keperluan hidupnya , kecuali istri yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.
2. Perempuan yang dalam masa iddah ba'in, kalau ia mengandung ia berhak juga atas kediaman, nafkah dan pakaian. Firman Allah dalam Q.S At-Thalaq ayat 6:

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
3. Perempuan dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun dia mengandung, karena dia dan anak yang berada dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal dunia itu.
5. Hikmah Adanya Iddah
Allah SWT telah mensyari’atkan iddah, karena dalam iddah itu terkandung beberapa hikmah yang tak ternilai harganya dan merupakan salah satu sumber keteraturan hidup, yang antara lain adalah:
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak bercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain .
2. Memberikan kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan yang semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya dalam memberikan tempo berpikir panjang, jika tidak diberikan kesempatan demikian, maka tidak ubahnya sepeti anak kecil bermain, sebentar disusun sebentar lagi dirusaknya.
4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami isteri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
Sedangkan dalam pedoman perkawinan, halaman disebutkan bahwa hikmah iddah adalah sebagai berikut:
1. Iddah adalah masa berpikir untuk kembali lagi
2. Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha meruju’ kembali.
3. Masa penyelesaian segala masalah, bila masih ada masalah dan akan tetap terpisah.
4. Masa peralihan untuk menentukan hidup baru.
5. Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal.
6. Masa untuk menentukan kosong tidaknya isteri dari hamil.
7. Sebagai hukum ta’abudy.
























BAB IV
RUJUK

1. Pengertian Rujuk
Ruju’ secara bahasa berarti pulang atau kembali. Sedangkan menurut istilahnya ruju’ itu ialah kembalinya seorang suami kepada isttrinya yang di talak raj’i tanpa melalui perkawinan dalam masa iddah. Ruju’ hanya dapat dilakukan karena ada talak raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami pertama dan kedua. Oleh karena itu rujuk tidak dapat dilakukan pada talak yang ketiga karena dianggap ba’in. disamping itu, rujuk tidak dapat dilakukan apabila talaknya itu terjadi sebelum hubungan seksual (belum pernah digauli). Pada talak kesatu dankedua pun rujuk tidak dapat dilakukan apabila terjadi talaknya secara tebusan sejumlah harta dari pihak istri (khulu’), serta rujuk juga tidak bisa dilakuakn apabila talaknya itu melali putusan pengadilan (fasakh).

2. Hukum Rujuk
Bisa wajib, haram, makruh, jaiz, dan sunat itulah hukum-hukum yang terjadi pada masalah rujuk. Rujuk dikatakan wajib terhadap suami yang menalak salah seorang istrinya sebelum di sempurnakan pembagian waktunya terhadap istrinya yang ditalak. Haram, apabila rujuknya itu menyakiti istri. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami istri). Jaiz (boleh), ini adalah hukum asli dari rujuk. Sunat, jika maksud suami adalah untuk memperbaiki keadaan istrinya, atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya (suami istri).

3. Rukun Rujuk
1. Istri. Keadaan istri disyaratkan:
a. Sudah pernah digauli, karena istri yang belum pernah digauli apabila ditalak, terus putus pertalian antara keduanya, si istri tidak mempunya iddah sebagaimana yang telah dijelaskan.
b. Istri yang tertentu. Kalau suami menalak beberapa istrinya, kemudian ia rujuk salah satu dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujuknya, maka rujuknya itu tidak shah.
c. Talaknya adalah talak raj’i.
d. Si istri harus masih ada dalam masa iddahnya.
2. Suami harus dengan kehendak sendiri.
3. Saksi. Dalam hal ini para ulama berselisih paham, apakah saksi ini wajib menjadi rukun, ataukah hanya sekedar sunat. Jadi, sebagian mengatakan saksi itu wajib menjadi rukun dalam rujuk, dan sebagiannya lagi saksi itu hanya sekedar sunat.
4. Sigat (lafadz). Sigat ada dua, yaitu:
1). Terang-terangan, misalnya dikatakan “Saya kembali kepada istri saya”, atau “Saya rujuk kepadamu”.
2). Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau”. Atau dengan kalimat lainnya yang memiliki acuan terhadap rujuk.
Sigat ini sebaiknya dikatakan dengan tidak digantungkan dengan sesuatu, karena rujuk dengan perkataan seperti itu tidak sah. Misalnya “Saya kembali kepadamu jika kamu suka” atau “Saya rujuk kepadamu jika si anu datang” dan sebagainya.

BAB V
PEMELIHARAAN ANAK (HADONAH)

1. Anak
a. Anak sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah dari istri, dan hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut..
b. Anak yang tidak sah adalah anak yang lahir diluar perkawinan hanya punya nasab kepada ibunya dan keluarga ibunya.

2. Status
a) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya manakala ia punya bukti bahwa istrinya melakukan jinah dengan orang lain dan anak itu akibat perjinahan.
b) Asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran atau bukti lainnya.

3. Pemeliharaan Anak
a. Orang tua wajib memelihara anak dan mendidiknya sampai umur 21 tahun atau sampai anak itu menikah.
b. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan atas kesalahan anak.
c. Orang tuanya mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
d. Pengadilan Agama dapat menunjuk seseorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

4. Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua
a. Hak dan Kewajiban Orang Tua
 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
 Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah pernah melakukan perkawinan ada di bawah kekusaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

b. Hak dan Kewajiban Anak
 Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
 Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuan.
 Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara orang tuanya apabila orang tuanya sudah lanjut usia atau sudah tidak mampu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar