Selasa, 15 September 2009

analisis artikel rujuk

Cara Rujuk dari Talak
Oleh : Abu Hasan Budi Aribowo

Talak yang dapat dirujuk adalah sampai dengan talak dua sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah : 229)

Imam Ibnu Katsir rahimahullaH mengatakan,

“Dan firman Allah Ta’ala, ‘Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik’, artinya jika engkau (seorang suami) mengucapkan talak kepada istri pada saat yang pertama kalinya atau pada saat yang kedua kalinya, maka engkau mempunyai dua pilihan selama masa ‘iddahnya masih tersisa.

Merujuknya kembali dengan niat mengadakan ishlah dan berbuat baik kepadanya atau membiarkannya menyelesaikan masa ‘iddahnya, hingga akhirnya dirimu memilih untuk menceraikannya, maka ceraikanlah dengan cara yang baik, dengan tidak menzhalimi haknya sedikit pun dan tidak juga merugikannya” (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hal. 452)

Namun demikian ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang permasalahan bagaimana cara rujuk kembali kepada istri, yaitu apakah cukup dengan perbuatan atau memerlukan ucapan dan pernyataan lisan seperti ucapan, “Aku rujuk engkau”. Demikian pula terjadi perbedaan apakah di dalam rujuk itu memerlukan saksi ataukah tidak.

Imam asy Syaukani rahimahullaH mengatakan,

“Para salaf berbeda pendapat mengenai laki-laki yang merujuk istrinya. Al Auza’i mengatakan,

‘Bila ia menggaulinya berarti telah merujuknya’.

Demikian juga yang dikemukakan oleh sebagian tabi’in. Malik dan Ishaq juga mengemukakan pendapat seperti itu disertai syarat bahwa laki-laki itu meniatkan untuk merujuk” (Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, hal. 593)

Beliau juga mengatakan, “Sementara asy Syafi’i mengatakan, ‘Rujuk itu hanya terjadi dengan perkataan’” (Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, hal. 594)

Dan Imam asy Syaukani rahimahullaH merajihkan pendapat yang pertama, yaitu rujuk boleh dilakukan dengan perbuatan (lihat Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, hal. 594)

Lalu berkaitan dengan saksi rujuk. Jika berkumpul dengan istri merupakan pendapat yang rajih bahwa seseorang telah merujuk istrinya, maka dalam hal ini rujuk tidak memerlukan saksi, disamping itu telah terjadi ijma’ tentang tidak wajib adanya saksi dalam talak, sehingga rujuk pun seperti itu (Lihat Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, hal. 594). WallaHu a’lam.

Sumber Bacaan :

Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Pustaka Azzam, Jakarta, Cetakan Pertama, November 2006 M.

Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Pustaka Imam asy Syafi’i, Cetakan Keempat, Jumadil Akhir 1427 H/Juni 2006 M.






Pembahasan dari artikel Abu Hasan Budi Aribowo

Artikel atau karya tulis yang dibut oleh Au Hasan Budi Ari Wibowo Tersebut menjelaskan tentang cara rujuk dari Talak. Dalam pembahasannya ia lebih condong menyoroti masalah rujuk dengan perbuatan dan harus ada atau tidak adanya saksi dalam merujuk seorang istri. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat sehingga menimbulkan perbedaan persepsi dalam mencerna tata cara rujuk yang benar dan dianjurkan.
Dalam KHI dijelaskan bahwasannya Rujuk harus dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yan mewilayahi tempat tinggal suami isteri yang akan rujuk tersebut. Dengan demikian menurut saya dalam KHI tersebut tersirat bahwasannya rujuk tersebut tidak hanya dilakukan dengan perbuatan saja tetapi harus mengikuti prosedur yang berlaku dengan memenuhi rukun dan syarat dari rujuk. Rukun rujuk adalah adanya istri syaratnya pernah dicampuri, talak raj’i, dan masih dalam masa iddah, isteri yang tertentu yaitu kalau suami menalak beberapa istrinya kemudian ia rujuk dengan salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukan-maka rujuknya itu tidak sah, Suami syaratnya atas kehendak sendiri, saksi yaitu dua orang laki-laki yang adil dan Sighat atau ucapan Rujuk.
Dengan demikian, tentunya harus ada analisa yang ditinjau dari pendapat beberap ulama tentang rujuk dengan perbuatan dan ada atau tidak adanya saksi dalam rujuk.
1. Pengertian
menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’ a-yarji’ u-rujk’an yang berarti kembali, dan mengembalikan. Sedangkan secara terminology, ruju’ artinya kembalinya seorang suami kepada istrinya yang di talak raj’I, tanpa melalui perkawinan dalam masa ‘iddah. Ada pula para ulama mazhab berpendapat dalam istilah kata ruju’ itu adalah menarik kembali wanita yang di talak dan mempertahankan (ikatan) perkawinannya. Hukumnya, menurut kesepakatan para ulama mazhab, adalah boleh. Menurut para ulama mazhab ruju’ juga tidak membutuhkan wali, mas kawin, dan juga tidak kesediaan istri yang ditalak.
Rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Rujuk menurut bahasa artinya kembali (mengembalikan). Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Dapat di rumuskan bahwa ruju’ ialah mengembalikan setatus hokum perkawinan secara penuh setelah terjadinya talak raj’I yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa idddah, dengan ucapan tertentu.
2. perbedaan pendapat para ulama mazhab tentang terjadinya ruju’ melalui perbuatan.
a. Imam Syafi’i
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, ruju’ tidak sah bila dilakukan dengan mencampurinya sesungguhpun hal itu diniatkan sebagai ruju’. Suami haram mencampurinya dalam ‘iddah. Kalau dia melakukan itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pencampuran syubhat.
b. Imam Malik
Ruju’ boleh dilakukan melalui perbuatan yang di sertai dengan niat untuk ruju’. Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat ruju’, maka wqnita tersebut tidak akan bias kembali kepadanya. Namun percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari perempuan dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampurinya itu. Wanita tersebut harus menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil.
c. Imam Hambali
Ruju’ hanya terjadi melalui percampuran begitu terjadinya percampuran, maka ruju’ pun terjadi, sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat ruju’. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran, misalnya sentuhan ataupun ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya ruju’

d. Imam Hanafi
Ruju’ bias terjadi melalui percampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai dengan birahi. Ruju’ juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian dia terserang penyakit gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.
e. Imamiyah
Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, berciuman dan bersentuhan, yang disertai syahwat atau tidak dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Ruju’ tidak membutuhkan pendahuluan berupa ucapan. Sebab, wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam masa iddah. Dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat ruju’. Penyusun kitab Al-Jawahir mengatakan, “barangkali tujuan pemutlakan nash dan fakta tentang ruju’ adalah itu, bahkan ruju’ bisa terjadi melalui perbuatan sekalipun disertai maksud tidak ruju;.” Sayyid Abu Al-Hasan mengatakan dalam Al-Wasilahnya,”perbuatan tersebut mengandung kemungkinan kuat sebagai ruju’, sekalipun dimaksudkan bukan ruju;.” Tetapi. Bagi Imamiyah, tindakan tersebut tidak dipandang berpengaruh manakala dilakukan oleh orang yang tidur, lupa, dan mengalami syubhat, misalnya bila dia mencampuri wanita tersebut karena menduga bahwa wanita tersebut bukan istrinya yang dia talak.
3. Analisa
Perbedaan pendapat juga terjadi pada hokum rujuk dengan perbuatan. Syafi’I berpendapat tidak sah, karena dalam ayat alqur’an Allah menyuruh supaya rujuk dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya sigat (perkataan). Perbuatan seperti itu sidah tentu tidak dapat dipersaksikan oleh orang lain. Akan tetapi, menurut pendapat kebanyakan ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah. Mereka beralasan kepada firman Allah dalam surat Al-baqarah : 228 yang artinya : “ dan suami-suami berhak merujuknya”
Dalam ayat tersebut tudak ditentukan apakah dngan perkataan atau perbuatan. Hokum mempersaksikan dalam ayat diatas hanyalh sunat, bukan wajib. Qarinahnya adalah kesepakatan ulama (ijma’) bahwa mempersaksikan talaq-ketika menalaq-tidak wajib: demikian pula hendaknya ketika rujuk, apalgi beratri rujuk itu meneruskan pernikahan yang lama, sehingga tidak perlu wali dan tidak perlu ridho orang yang dirujuki. Mencampuri istri yang sedang dalam iddah raj’iyah itu halal bagi suai yang menceraikannya, menurut pendapat abu hanifah. Dasarnya krena dalam ayat itu ia masih disebut suami.
Rujuk itu sah juga meskipun tidak dengan ridho si perempuan dan atas sepengetahuannya karena rujuk itu berate mengekalkan pernikahan yang telah lalu. Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya sedangkan ia tidak tahu, kemudian setelah lepas iddahnya perempuan itu menikah dengan laki-laki lain karena dia tidak mengetahui bahwa suaminya rujuk kepadanya, maka nikah yang kedua ini tidak sah dan batal dengan sendirinya dan perempuan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya.
4. Tata Cara rujuk Dlam KHI
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar