Selasa, 15 September 2009

PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM DI INDONESIA

PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM DI INDONESIA

1. Konsep perkembangan Peradilan islam
Didalam kamus besar Bahasa Indonesia peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki pengertian yang banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara; rumah (bangunan) tempat mengadili perkara (Cik Hasan Bisri : 2000 : 2).
Dalam pengkajian Peradilan islam, terdapat berbagai konsep yang digunakan. Konsep itu merupakan suatu gagasan (idea) yang dilambangkan poleh suatu istilah tertentu, sesuian dengan bahasa yang digunakan. Ada dua istilah yang berasal dari kata dasar yang sama tetapi memiliki pengertian yang berbeda, yaitu peradilan dan pengadilan. Peradilan merupakan salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam penegakan hokum dan keadilan, yang mengacu pada hokum yang berlaku. Sedangkan pengadilan merupakan satuan organisasi yang menyelenggarakan hokum dan keadilan tersebut.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa peradilan agama adalah kekuasaan Negara dalam hal/bidang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang-orang yang beragama islam untuk menegkan hokum dan keadilan.
Perkembangn adalah perubahan structural dan cultural yang bersifat kualitatif. Kualitatif atau verbal hanya bisa dinyatakan dengan kata-kata bukan dengan nominal. Pada dasarnya, perkembangan adalah bagian dari perubahan karena perubahan mencakup berbagai aspek dan masih menjadi kata yang umum karena perubahan mempunyai banyak macamnya. Jadi, perkembangan peradilan islam adalah perubahan pada struktur perdilan yang bersifat kualitatif. Baik dari susunan, kedudukan dan wewenang dari peradilan..
Konsep dasar perkembangan peradilan terdiri dari :
1. Dasar penyelenggaraan.
2. Kedudukan dalam struktur kekuasaan Negara.
3. Susunan.
4. Kekuasaan.
5. Hukum Substansi, yaitu hokum yang berhubungan dengan kekuasaan, kekuasaan mutlak yang berhubungan dengan perkara.
6. Hukum Acara (perdata atau Pidana), yaitu hokum yang berfungsi untuk melaksanakan hokum substansi.
2. Model Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia
a. Peradilan Islam sebagai bidang kajian
Peradilan Islam merupakan salah satu studi yang terdapat pada bidang ilmu Hukum islam dan Pranata social. Peradilan islam di Indonesia secara resmi dikenal sebagai Peradilan Agama, dan mendapat perhatian dari kalangan pakar hokum islam yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian, monografi, Skripsi, Tesis, Disertasi dan buku daras. Pengkajian Peradilan Islam terlangsung sejak pranata hokum itu memiliki kedudukan yang semakin kokoh dalam pembagian kekuasaan Negara dan peranannya semakin menonjol. Bisa dilihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Ia akan menarik, karena sebagai satu-satunya pranata keislaman yang menjadi bagian dari penyelenggaran kekuasaan Negara.
b. Orientasi pengkajian
Berkenaan dengan pengkajian, diperlukan pemilihan serta penggunaan pendekatan dan metode pengkajian yang tepat. Yaitu tepat dalam pengertian dan bersesuian dengan runag lingkup maslah yang dikaji, seperti yang telah dijelaskan diatas. Dan tepat dalam pengertian bersesuaian dengan karakteristik bidang pengkajian yang merupakan bagian dari ilmu Agama Islam.
Dalam pengkajian PADI membutuhkan pembatasan wilayah pengkajian sebagaimana bidang pengkajian yang lain. Pembatasan itu sekaligus menunjukan ruang lingkup wilayah pengkajian PADI. Hal itu meberi kemungkinan untuk menentukan berbagai wilayah penelitian (research areas) dan masalah-masalah penelitian (research problems), dan metode penelitian yang tepat untuk digunakan dalam penngembangan pengkajian PADI. Secara garis besar wilayah pengkajian PADI tercermin dalam rumusan pengertiannya, yaitu “kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hokum dan keadilan”. Secara rinci ruang lingkup tersbut meliputi :
1. Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman, yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya dan dari pihak luar.
2. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, meliputi hierarki, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur lain dalam susunan organisasi Pengadilan.
3. Prosedur berperkara di Pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hokum procedural, dan produk-produknya.
4. Perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, perwakafan, dan shadaqah. Ia mencakup variasi dan sebarannya dalam berbagi badan peradilan.
5. Orang yang beragama islam sebagai pihak yang berperkara, atau para pencari keadilan.
6. Hukum islam sebagaia hukum substansial yang dijadikan rujukan.
7. Penegakan hukum dan keadilan.
c. Beberapa Model Pengkajian
Dengan pendekatan-pendekatan dan modifikasi metode penelitian, peradilan islam dapat dipahami, digambarkan, dan dijelaskan menurut kerangka berpikir tertentu yang didasrkan kepada satu atau beberapa teori tertentu; dan untuk tujuan tertentu. Berkenaan dengan hal itu, pemgkajian peradilan islan di Indonesia dapat dilakukan dengan beraneka ragam model atau bentuk. Pengkajian peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya :
1. Model pengkajian Relasional, yaitu model pengkajian yang dititikberatkan pada hubungan peradilan islam dengan pranata hokum lainnya.
2. Model Pengkajian Sosio-Hoistoris, yaitu model pengkajian yang dititikberatkan pada kronologis pertumbuhan dan perkembnagn Peradilan Islam dalam rentangan waktu tertentu.
3. Model Pengkajian Sistemik, yaitu model pengkajian ini dititikberatkan bahwa peradilan merupakan suatu kesatuan terintegrasi, yang terdiri dari berbagai unsure.
4. Model Pemgkajian Aspektual, yaitu model pengkajian yang dititkberatkan pada salah satu atau bagian dari unsure dalam sisitem peradilan.
5. Model Pengkajian Perbandingan, yaitu Model pengkajian yang dititikbertakan pada pada unsur persamaan, perbedaan, dan hubungan peradilan islam di kawasan Indonesia dengan peradilan di kawasan negara lain.
6. Model Pengkajian Analisis Yurisprudensi, pengkajian ini dititikberatkan pada pembahasan isi keputusan peradilan islam, baik putusan maupun penetapan yang telah mempunyai kekutan hokum.
3. Islam dan politik di Indonesia
Perkembangan peradilan islam di Indonesia tidak terlepas dari politik dan pengusa yang sedang berkuasa. Hal tersebut dipengaruhi dari penyebaran umat islam di berbagai Negara dan kawasan.
corak dan perkembangan peradilan islam sejalan dengan struktu, pola budaya dan perkembnagan mastarakat islam dinegara-negara yang bersangkutan. Demikian halnya di Indones, peradilan Islam mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan umat islam, komunitas terbesar dalam kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia. Oleh karena itu, peradilan Islam pada masa Kesultanan islam, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan bersifat majemuk. Kemajemukan Peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari segi penyebutannya secara resmi (tetelateur), kedudukannya dalam system peradilan secara keseluruhan, susunan organisasi pengadilan, hierarki instansial pengadilan, cakupan kekuasaanya, dan hokum acara yang erlaku didalamnya. (Cik Hasan Bisri: 1997: 95).
a. Islam datang dan berkembang
Islam datang ke Indonesia dengan cara yang baik, sehingga dapat diterima dengan baik pula oleh lapisan masyarkat Indonesia. Islam masuk ke Indonesia dengan berbagai cara seperti perdagangan, politik, pendidikan, dan perkawinan. Ciri islam dating yaitu dengan adanya makam para leluhur yang sudah terlebih dahulu meninggalkan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sudah adanya penyebaran umat islam di suatiu wilayah yaitu dengan adanya makam tersebut.
Sedangkan islam berkembang dapat dilihat dari adanya mesjid. Mesjid adalah tempat untuk beribadah atau tempat untuk melakukan perkumpulan umat islam. Dapat diketahui bahwa penghuni mesjid tersebut tidak seorang, tetapi banyak orang yang menjadi ciri bahwa penyebaran umat islam sudah berkembang dan terus bertambah sehinnga bisa menjadi kekuatan politik.
b. Islam menjadi kekuatan politik
Dalam perjalan Islam muncul, muncul berbagai pemikiran tentang Islam dalam berbagai bidang dan pranata sosial yang bercorak keislaman. Salah satu bagian dari pemikiran itu adalah bidang hukum Islam (fiqh), sedangkan pranata sosial yang bercorak keislaman itu adalah Peradilan Islam. Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola budaya, dan perkembangan masyarakat Islam di negara-negara yang bersangkutan. Dengan berkembangnya masyarakat islam, lahirlah kerajaan-kerajaan islam yang kelak menjadi kekuatan politik, yang didalamnya terdapat peradilan islam. Penyebutan, kedudukan, susunan, serta kekuasaan satuan penyelenggara peradilan Islam, yaitu Pengadilan pada masa kesultanan Islam sangat beraneka ragam, contohnya pada masa kesultanan mataram, ada pengadilan surambi karena diselenggarakan di serambi masjid agung (Cik Hasan Bisri: 1997, hal: 95-96).
c. Islam dan politik pada masa kesultanan dan penjajahan
Pada masa kesultanan, pengadilan bervariatif, sesuai dengan kebijakan sultannya masing-masing. Contoh: di banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh kadi sebagai hakim tunggal. Di Cirebon, pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili sultan, yaitu sultan sepuh, sultan anom, dan sultan penembahan Cirebon. Disamping itu, menurut Lev (1972: 10), di Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lain, para hakim agama bisanya diangkat oleh penguasa setempat. Di daerah-daerah lain, seperti di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, tidak ada kedudukan tersendiri bagi penyelenggara Peradilan Islam.
Pada masa penjajahan belanda, penamaan pengadilan sangat bervariasi, Ia disebut priesterraad, Godsdienstige reschtpaak, dan Penghoeloe gerecht. Ia merupakan penyelenggara Peradilan Islam dengan cakupan kekuasaan perkawinan dan kewarisan yang dilaksanakan secara sederhana. Menurut C. Van Vollenhoven (1981: 51), kedudukannya adalah sebagai berikut:
1. Dirangkaikan kepada peradilan gubernemen di wilayah pemerintahan langsung.
2. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah pemerintahan langsung
3. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah Swapraja.
4. Dirangkaikan kepada Peradolan Gubernemen di wilayah Swapraja.
5. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah yang tidak langsung.
(Cik Hasan Bisri: 1997, hal: 96-97).
4. Peradilan Islam pada masa kesultanan
Setelah islam menjadi kekuatan politik yaitu dengan cara masuk pada kesultanan-kesultanan, maka pimpinan kesultanan tersebut menilai bahwa pentingnya suatu peradilan yang mengatur maslah-masalah yang timbul di masyarakat khususnya perkara perdata. Dengan demikian para pemimpin terssbut mengangklat pejabat agama yang dapat mengadili perkara-perkara tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan ilsam bercorak majemuk. Kemajemukan tersebut mat bergantung pada proses islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hokum islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berad pada lingkungan kesultanan masing-masing (Cik Hasan Bisiri ; 1996: 113).
Menurut R.Tresna 1977:17) dengan masuknya agama islam ke Indonesia, maka tata hokum di Indonesia menglami perubahan. Hokum islam tidak hanya menggantikan hokum Hindu, yang berwujud dalam hokum Pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya kedalam berbagi aspek kehidupan masyarakat pada umumya
Pada masa pemerinthan sultan Agung di Mataram Peradilan dilaksanakan di surambi mesjid, sehingga peradilan pada masa ini disebut Perdailan Surambi. Peradilan ini dipimpin oleh oleh penghulu yang didampingi oleh beberapa orang ulama dari pesantern sebagai anggota majelis. Hasil dari keputusan Peradilan ini akan menjadi pertimbangan untuk Sultan Agung dalam menyelesaikan perkara. karena pada dasarnya pimpinan pengadilan tersebut adalah seorang Sultan, dan keputusan dari Sultan Agung tidak pernah bertentangan dengan keputusan dari Penghulu.
Setelah masa Sultan agung berakhir, kemudian digantikan oleh Susuhunan Amangkurat Ke I (1645), ia menghidupkan kembali pengadilan pradata. Alasannya karena dia tidak begitu suka terhadap pemuka-pemuka islam dan ia berusaha mengurangi pengaruh alim ulama dalam pengadilan.
Menurut R. Tresna (1977:18) diwaktu Amangkurat ke I, di Ibu Kota kerajaan ada 4 orang jaksa, yang harus menerima segala perkara yang diajukan dari segala sudut kerajaan dan mempersiapkannya untuk dihadapkan kepada pengadilan raja. Pengadilan Pradata, dimana perkara-perkara diadili oleh raja sendiri, hanya diadakan di Negara agung, yaitu pusat pemerintahan, ibu kota Negara.
Dalam perkembangan berikutnya pengadilan surambi masih menunjukan keberadaanya sampai masa penjajahan. Wewenang pengadilan tersebut masih terbatas yaitu menyelesaikan perselisihan dan persengketaan perkawinan dan kewarisan.
Orang-orang banten sudah memluk agama islam sebelum kekuasaan negara direbut oleh Faltehan. Sehingga pengadilan di Banten disusun menurut pengertian islam. Menurut R.Tresna (1977:23) jikalau sebelum tahun 1600 pernah juga ada bentukan-bentukaan pengadilan yang berdasar pada hukum Hindu, seperti yang mungkin pernah ada dibawah kekuasaan Pakuan Pajajran. Maka di waktu sultan Hasanudin memegang kekuasaan sudah tidak nampak lagi bekas-bekasnya sedikitpun. Bagaimanapun juga, pada anad ke 17 di Banten itu hanya ada suatu macam Pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh qadhi sebagai hakim seorang diri.
Kesultanan di Cirebon didirikan pada waktu yang hampir sama dengan kesultanan Banten. Sehingga masih terikat pada norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-Kuno.Di Cirebon,Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tuga orang sultan, yaitu sultan Anom, Sultan Sepuh dan Panembahan Cirebon. Dengan demikian, jika ada suatu persidangan maka ada bebrapa orang perwakilan dari ketiga orang Sultan tersebut. Kitab Hukum yang digunakan adalah papakem Cirebon.

.Peradilan islam pada masa kesultanan Palembang
Bagi kota palembang sebagai ibukota propinsi sumatera selatan, dimana sudah sejak dulu adanya semua kekuasaan mengadili perkara perdata bagi umat islam, yaitu di zamannya kesultanan palembang yang disebut dengan istilah nata gama sebagaimana yang ditulis oleh de roo de la faille seorang anggota raad van indie dalam bukunya dari kesultanan palembang, pimpinannya berada di tangan hakim syar’iyah yang memeriksa dan memutuskan perkara atas nama sultan.
Pangeran penghulu bertindak pula selaku penasehat syar’iyah (hukum islam) dan juru sumpah di landraad (pengadilan negeri ) dengan mempunyai hak penuh bersuara dalam memberikan pertimbangan secara hukum islam bila diperlukan. tugas-tugas pangeran penghulu sebagai berikut :
1. Urusan n.t.r. waris, wakaf umum, pengajaran agama islam;
2. Menetapkan awal ramadhon dan syawwal ( dengan membunyikan meriam) sebagai tanda akan dimulainya puasa atau hari hari raya;
3. Mengangkat penghulu-penghulu, khatib dan sekaligus dengan bisluitnya;
4. Menerima laporan dari penghulu-penghulu yang dalam wilayahnya yang menyangkut masalah zakat, fitrah, kelahiran dan kematian : juga terhadap lelaki dan perempuan yang lari untuk kawin (kawin lari) yang mendapat perlindungan dengan sepenuhnya ; sedang untuk putusan pangeran penghulu tersebut tidak ada tempat untuk dimintakan banding.
keadaan demikian cukup lama berlangsung serta berpengaruh besar terhadap perkembangan agama islam di kota palembang dan sekitarnya. tetapi setelah mulai masuknya kekuasaan belanda di palembang, maka kedudukan hakim syar’y setelah diperkecil dan dibatasi kekuasaannya, lalu dirobah menjadi kekuasaan pangeran penghulu.
5. Peradilan Islam pada masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, ada 5 tatanan peradilan. Yaitu :
a. Peradilan Gubermen. Tersebar diseluruh daerah Hindia-Belanda
b. Perdailan Pribumi, tersebar di luar jawa dan Madura yaitu di Kresidenan Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan Dan Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku, dan di Pulau Lombok dari Keresidenan Bali dan Lombok.
c. Peradilan Swapraja, tersebar hampir di seluruh daerah swapraja, kecuali Pakualaman dan Pontianak.
d. Peradilan Agama, tersebar didaerah-daerah tempat berkedudukan peradilan Gubermen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah Swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
e. Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubermen.
• Peradilan Islam tahun 1882-1937
Dalam stb 1882 no 152, dielaskan tentang pengadilan Agama di daerah Jawa dan Madura. Wewnang serta hal-hal mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan Agama Ini berdasarkan keputusan Raja Belanda yakni Willem III tanggal 19 Januari 1882 yang berisi 7 pasal. Did dalamanya ditetapkan peraturan Peradilan Agama dengan nama Piesterraden untuk Jawa dan Madura, yang selanjutnya dikenal dengan Raad, dengan wilayah kekuasaan berkaitan dengan hal Pernikahan, Segala jenis perceraian, Mahar, Nafkah, Keabsahan anak, Perwalian, Kewarisan, Hibah, Wakaf, Shadaqah, dan Baitul Mal, yang semuanya erat dengan agama Islam.
Wewenang serta hal-hal mengenai pelaksanaan keputusan dari pengadilan Agama masih sama dengan ketentuan dari Stb. 1835 No. 58 dan walaupun dalam sebutannya pengadilan ini dibentuk oleh Pemerintah namun kenyataanya sama sekali tidak memperoleh kedudukan yang sama dengan pengadilan Gubermen (Landraad dll). Pemerintah tidak menyediakan anggaran belanja namun gaji bagi petugas-petugas di dalamnya dan segala keperluan administrasi harus dicukupkan dari ongkos-ongkos perkara semata-mata. Penjabat yang mendapat tunjangan tetap hanya ketuanya saja dalam kedudukannya sebagai adviseur bij de Landraad, atau biasanya disebut “Penghulu Landraad”.(Zaini A. Nuh dan Abd Basit A., 1980:33)
Sehubungan dengan kelanjutan perkembangannya, Snouck Hurgronye (1857-1936), yang menentang teori Receptie in Complexu yang beranggapan teori ini merugikan pemerintahan Hindia Belanda. Akhirnya dia mengeluarkan teori Receptie yang mengemukakan bahwa hokum yang berlaku di Indonesia adalah hokum dapat asli, atau hokum islam berlaku kalau telah di resepsi oleh hokum adat, dengan tujuan mempersempit ruang gerak islam.
• Peradilan Islam tahun 1937-1942 (Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura)
Di indonesia, menhgadapi kenyataan bahwa pedudk Indonesi seabaaian besar adalah muslim. Dengan demikian, pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan agama, karena mereka kurang begitu mengetahui tentang keadaan umat islam. Menurut Aqib Suminto (1985: 10) kebijkasanaan untuk tidak mencampuri urusan Agama ini nampak tidak konsiisten. Karena tidak adanya garis yang jelas. Mislanya dalam masalah haji, ternyata pemerintah Belanda tidak bisa menahan diri untuk campur tangan. Mereka mencurigai para haji yang dianggap fanatik dan pemberontak.
Setelah keadatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah ketakuan pemerintah Belanda terhadap umat muslim Indonesia itu hilang. Kraena menurutnya di islam tidak dikenal lapisan kepedetaa semacam kristen. Juga tidak fanatik dari para kyai. Tetapi, ia tidak buta dengan kemampuan politik fanatisme islam. Sehingga ia membedakan islam dalam 3 bidang yaitu :
a. Bidang agama murini atau ibadah. Di bidang ini, pada dasarnya pemerintah Kolonial memberikan kebebasan kepada umat islam untuk melksanakan ajaran agamanya.
b. Bidang sosial masyarakat. Dalam bidang ini, pemerintah memanfaatkan adat dan kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat supaya mendekati Belanda, bahkan membentu rakyat untuk menempuh jalan tersebut.
c. Bidang Politk. Dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pan islam.
Karena kolonial belanda merasa bahwa Hukum Islam yang menjadi kesadaran hukum rakyat Indonesia, merupakan penghalang kepentingan kolonial, maka pemerintah belanda merasa perlu mengeliminasi Hukum Islam (keluarga), berikut lembaga yang mengatur dan menanganinya yakni Peradilan Agama. Langkah yang dilakukannya yaitu dengan rekayasa ilmiah hokum, sehingga lahirlah staatsblad 1937 No. 116 pasal 2a ayat 1 yang berlaku sejak tanggal 01 april 1937, maka kompetensi Peradilan agama menjadi lebih sempit, yang hanya terbatas dalam bidang yang berhubungan dengan perkawinan, yaitu:
1. Perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam.
2. Perkara-perkara tantang: a. nikah, b. talak, c. rujuk, d. perceraian antara orang-orang yang beragama Islam, yang memerlukan perantaraan hakim yang beragama Islam.
3. Menyelenggarakan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantung-kan (ta’liq al-thalaq) telah ada.
5. Perkara mahar atau maskawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan Staatsblad 1937 No 162 pula, lahir Peradilan di wilayah Kalimantan selatan dan Kalimantan timur, dengan nama Kerapatan Qadi ditingkat pertama, dan Kerapatan Qadi Besar di tingkat banding.
6. Peradilan Islam pada masa penjajahan Jepang
Tahun 1942, adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Jepang mengetahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Sehingga mereka bermaksud untuk mencari dukungan kepada rakyat Indonesia untuk melawan sekutu. Cara yang ditempuh Jepang untuk mencari dukungan dari penduduk Indonesia adalah dengan memberikan toleransi terhadap berkembangnya ORMAS islam. Selain itu, Jepang juga memberikan toleransi kepada muslim untuk menjadikan islam sebagai dasar negara.
Manurut Harry J. Benda (1980:165) Tujuh bulan pertama dari tahun baru menyaksikan kesibukan usaha jepang untuk memobilisasikan islam Indonesia pada tingkat rakyat pedesaan. Akan tetapi di paruhan kedua tahu itu, arti penting politik islam tampil kedepan sebagian sebagaia akibat dari konsesi-konsesi pertamayang diberikan kepada orang-orang Indonesia di Jawa. Kaum muslimin menduduki bagian yang tidak bisa diremehkan dalam organ politik baru yang diciptakan oleh pemerintah pendudukan.
Masa pemerintahan Jepang memberi beberapa kebijakan yang berkaitan dengan perundangan dan peradilan yaitu bahwa semua peraturan perundangan yang berasal dari pemerintahan belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan Peradilan Agama dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, dan kaikoo kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi, berdasarkan auran peralihan pasal 3 Bala Tentara Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 Maret 1942 Nomor 1.
Pada tanggal 29 April 1942, pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No 14 tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Nippon. Dalam pasal 1, menjelaskan bahwa Jawa-Madura telah diadakan “Gunsei Hooin” (Pengadilan Pemerintah Bala Tentara), yang terdiri dari Tihoo Hooin (Pengadilan Negri), Ken Hooin ( Pengadilan Kabupaten), Gun Hooin (Pengadilan Kewadanaan), Kaikioo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam tertinggi), Sooryoo hooin (Rapat Agama).
Pada akhir Januari tahun 1945, keduduka Peradilan Agama pernah terancam dihapuskan. Ini terjadi karena pemerintah Bala Tentara mempertanykan kinerja Penghulu. Selain itu, pada tanggal 14 April 1945 Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo Aanyo Kaigi Jhimusitsu) kedudukan Pengadilan Agama tidak diperlukan lagi karena untuk mengadili sesorang yang berhubungan dengan agamanya diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Tetapi karena pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesi menyatakan kemerdekaannya, maka keadaan tersebut tidak pernah terjadi sehingga Pengadilan Agama tetap diakui keberadaanya.
7. Peradilan Islam pada masa awal kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, merupakan awal baru perubahan dalam segala bidang. Begitupula dengan sisitem peradilan nasional, khususnya peradilan Agama. Menurut Cik Hasan Bisri (2000:122-123) hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia dihadapkan kepada Revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali akan menjajah. Disamping itu, konstitusi yang menjadi dasar penyelenggaraan badan-badan kekuasaan negara memungkinkan penundaan perubahan tersebut.Dengan penetapan Pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946 urusan Mahkamah Islam Tinggi yang berasal dari Depatemen Kehakiman kemudian diserahkan kepada Departemen Agama. Depatemen Agama tersebut didirikan pada tanggal 3 Januari 1946.
Pada tanggal 22 November 1946, Presiden menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatn Nikah, Talak dan Rujuk, menggantikan Ordonasi Pencatatan N.T.R. dahulu. Tugas ini dibebankan kepada para penghulu dan Penghulu Naib.
Dalam usaha merombak susunan Peradilan Kolonial oleh Pemerintah R.I, maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Dalam Undag-undang ini di nyatakan bahwa Peradilan di Indonesia dilakukan oleh 3 lingkungan Peradilan, yaitu Peradilan Militer, Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Zaini A. Nuh dan Basit Adnan (1980: 54) dalam undang-undang Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dinyatakan bahwa Perdailan Agama tidak akan merupakan susuna tersendiri, akan tetapi dimasukan dalam susunan Peradilan Umum secara istimewa, sebagaimana ditentukan dalam pasal 53 Undang-undang itu, yang kesimpulannya sebagi berikut :
a. perkara-perkara perdata antara orang-orang islam yang menurut Hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya harus doperiksa oleh badan-badan Peadilan Umum.
b. Pemeriksaan tersebut dalam semua tingkat Peradilan, yakni Peradilan Negara, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dilakukan oleh seorang Hakim yang eragama islan sebagia anggota yang dinagkat oleh Presiden atas usul Menetri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
Tetapi, Undang-undang ini tidak pernah berlaku. Sehingga berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 45, maka pelaksanna Peradilan Agama masih tetap didasarkan pada stb. 1882 Nomor 152. dengan demikian keberadaan Peradilan Agama masih tetap berlaku sampai masa berikutnya.
Dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia (kesatuan) menggantikan Negara Republik Indinesia Serikat pada Tahun 1949, maka pemerintah mengadakan usaha untuk kesatuan dalam bidang Peradilan secara meneyeluruh. Maka Pada tahun 1951 di dalam lingkungan Peradilan diadakan perubahan penting dengan diundangkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan dan acara pengadilan sipil. Sehninnga Peradilan Agama masih diakui keberadaanya. Selanjutnya,karena Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka untuk luar Jawa dan Madura masih berlaku Huwerijksordonantie 1932 No 4 tahun 1982 dan PP tentang Pencatatan Nikah, Taalak dan Rujuk yang berlaku.
Pada tanggal 26 oktober 1954 disahkan UU No 32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya UU RI tanggal 21 November 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar jawa dan Madura. Pada tahun 1957 dengan PP No 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Provinsi Aceh. Di Aceh dibentuk satu Mahkamah Syari’ah yang mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan Agama Islam Menurut PP No 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura. (Basiq Djalil, 2006:75).
8. Peradilan Islam pada masa Orde Lama
• Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957
Dengan PP No. 29 Tahun 1957, maka di Aceh dibentuk sebuah Mahkamah Syar’iyyah yang mnegadili perkara-perkara yang bertalian dengan agama Islam. Kemudian dengan dihapusnya Provinsi Aceh karena berdirinya NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950, maka adanya Mahkamah Syar’iyyah tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu diadakanlah Mahkamah Syar’iyyah dengan PP No. 29 Tahun 1957. Dengan keluarnya PP No. 29 Tahun 1957 ini keadaan dasar hukum Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura sangat beragam. Karena keadaan tersebut, maka untuk daerah luar Jawa-Madura (kecuali sebagian daerah KalSel dan KalTim diadakan PP No. 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama (Masya) yang isinya sama dengan PP No. 27 Tahun 1957.
Menurut PP No. 29 Tahun 1957, wewenang Pengadilan Agma meliputi :
1. Perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam
2. Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk, fasakh serta hadhanah.
3. Perkara waris,wakaf,hibah,sedekah,baitulmal dan lain-lain berhubungan dengan itu.
4. Perkara perceraian dan mengeashkan bahwa talik talak sudah berlaku.
Menurut PP No. 45 Tahun 1957 kewenangan PA di luar Jawa, Madura dan Kalsel adalah meliputi : nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman, mut’ah, hadhanah, waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal.
Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 24 UU ’45, maka keluarlah UU No 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan PP No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 PP No. 14 Tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
• Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iah di lur Jawa dan Madura. Wewenang Pengadilan Agama di Luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, meliputi :
1. Nikah. 8. Mut’ah
2. Talak 9. Hadanah
3. Rujuk 10. Perkara Waris
4. Fasakh 11. Wakaf
5. Nafkah 12. Hibah
6. Maskawin (Mahar) 13. Sedekah
7. Tempat Kediaman (Maskan) 14. Baitulmal.
• Lahirnya Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 Tentang Ketentun-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 Tentang Ketentun-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Peradilan secara terang-terangan masih ada Intervensi dari Presiden. Yaitu Presiden masih Campur Tangan atas kekuasaan kehakiman. Dalam UU N0. 1964 ini, disebutkan bahwa: “Demi kehormatan revolusi, negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak presiden dapat turut campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”

9. Peradilan Islam pada Masa Orde Baru
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada Tahun 1967. ketika itu Soeharto diangkat menjadi Presiden. Dengan demikian Soeharto memberi nama pemerintahannya dengan Orde Baru, yaitu Suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-undang Dasar 1945. selanjutnya, untuk Pemerinthan sebelumnya yaitu masa Pemerintahan Soekarno diberi nama Orde Lama.
• Lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 PP No. 14 Tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Undang-undang ini dijelaskan bahwa tidak ada campur tangan dari Kekuasaan Negara yang lain. Tidak seperti sebelumnya pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964.

• Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Lahirnya UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara RI tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan Masyarakat Indonesia. Hukum Perkawinan orang Indonesia Asli yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fikih, menurut sistem hukum Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah. Dengan lahirnya Undang-undang ini maka wewenang Pengadilan Agama bertambah, yaitu :
1. Izin seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974)
2. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat 2)
3. Izin kawin (pasal 6 ayat 5)
4. Pencegahan perkawinan (pasal 7 ayat1)
5. Penolakan perkawinan oleh petugas pecatatan perkawinan (pasal 21 ayat 3)
6. Pembatalan perkawinan (pasal 25)
7. Gugatan suami atau isteri atas kelalaian pihak lainnya dalam menunaikan kewajiban masing-masing (pasal 34 ayat 3)
8. Penyaksian talak (pasal 39)
9. Gugatan perceraian (pasal 49 ayat 1)
10. Hadhanah (pasal 41 sub a)
11. Penentuan biaya penghidupan bagi bekas isteri (pasal 41 sub c)
12. Penentuan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub b)
13. Penentuan sah tidaknya anak atas dasar tuduhan zina oleh suami terhadap isterinya (pasal 44 ayat 2)
14. Pencabutan kekuasaan orangtua (pasal 49 ayat 1)
15. Pencabutan kekuasaan dan penunjukan wali (pasal 53)
16. Pencabutan tentang soal apakah penolakan untuk melakukan perkawinan campuran oleh pegawai pencatat nikah (pasal 60).

Peradilan Agama dan Mahkamah Agung
Mahkamah agung sebagai lembaga Peradilan di Indonesia ini, dalam perjalanan sejarahnya tidak pernah lepas/mengalami citra yang tidak baik terutama pada masa Orde Baru. Sebagaimana UU No 14 tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 10, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu: a) Peradilan Umum b) Peradilan Agama c). Peradilan Militer, dan d). Peradilan Tata Usaha Negara. Ada pun mengenai proses penyelenggaraan Peradilan (Lingkungan Peradilan Agama) yang terkait langsung dengan MA adalah mengenai upaya hukum Kasasi, sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 20.
Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dijelaskan bahwasannya Peradilan secara Teknis Yudisial diawasi dan dibina oleh Mahkamah Agung, sedangkan secara Organisasi, Administrasi dan Finansial dibina dan diawasi oleh departemen masing-masing lingkungan peradilan. Pembinaan terhadap Pengadilan itu dipertegas lagi dalam ketetntuan pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 :
(1). Pembinaan Tejnis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2). Pembinaan Organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukanoleh Menteri Agama.
(3). Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam mewujudkan suatu tatanan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. UU No. 7 Tahun 1989 (sebagai peraturan perundang-undangan sebelumnya) memuat beberapa perubahan penting dalam penyelengaraan Peradilan Islam di Indonesia. Perubahan tersebut meliputi (1) dasar hukum penyelenggaraan peradilan (2) kedudukan badan peradilan (3) susunan pengadilan (4)kedudukan pengangkatan dan pemberhentian hakim (5) kekuasaan pengadilan (6) hukum acara pengadilan (7) penyelenggaraan administrasi peradilan (8) perlindungan terhadap wanita.
10. Peradilan Islam pada Masa Reformasi
Pada tahun 1997, di Indonesia terjadi pergolakan Politik. Yaitu dengan terjadinya demonstrasi oleh Mahasiswa dari seluruh Indonesia. Tujuan dari semua itu adalah menginginkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagi Presiden. Kemudian pada tahun 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presdien saat itu yaitu B.J Habiebie. Sejak itu, terjadi perubahan Struktural yang didasarkan kepada nilai-nilai dasar yang telah disepakati yaitu Reformasi. Dengan demikian berpengaruh pula terhadap Peradilan Agama di Indonesia.
Kebijakan Peradilan satu atap
Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dijelaskan bahwa Peradilan secara Teknis Yudisial diawasi dan dibina oleh Mahkamah Agung, sedangkan secara Organisasi, Administrasi dan Finansial dibina dan diawasi oleh departemen masing-masing lingkungan peradilan. Maka selanjutnya, pada tahun 1999 lahir Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 maka baik pembinaan teknis Peradilan maupun pembinaan organisasi, admministrasi dan finasial dilaksanakn oleh Mahkamah Agung, yang lebih dikenal dengan Kebijakan satu atap.
Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU Nomor 35 tahun 1999 yang isinya sebagai berikut :
(1). Badan-badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, secara organisatoris, administratif, dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2). Ketentuan mengenai organisasi, administarsi, dan finansial sebagaiamna dimaksud dalam ayat 1 untuk masing-masing lingkunagan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Dengan disyahkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 49 tersebut dirubah menjadi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.

Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. asuransi syari'ah;
d. reasuransi syari'ah;
e. reksa dana syari'ah;
f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. sekuritas syari'ah;
h. pembiayaan syari'ah;
i. pegadaian syari'ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. bisnis syari'ah.
Oleh karena itu, jelas sudah dengan adanya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ini memperluas kekuasaan Pengadilan agama, dan bukti bahwa Pengadilan Agama semakin lama semakin berkembang dan mempunyai prospek yang positive.
11. Prospek Peradilan
1. Analisis internal dan eksternal peradilan Islam
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Peradilan Islam, tugas dan wewenangnya mencakup hal-hal Perdata, bahkan lebih menyempit pada hal-hal tentang keluarga. Oleh karena itu, sempat muncul gagasan “untuk menjadikan”, PA sebagai Pengadilan Keluarga (Family Courts). Dalam bukunya (Cik Hasan Bisri, 2000:35), Cik Hasan Bisri menyatakan bahwa Pandangan itu antara lain dikemukakan oleh Bustanul Arifin dan Sutjipto Rahardjo.
Prospek PA kedepannya akan terus berkembang. Seteleh berlakunya UU Nomor 3 tahun 2006, maka wewenang PA semakin bertambah banyak. Tetapi dalam kenyataanya perkara yang paling dominan adalah perceraian. Wlaupun begitu dengan pertumbuhan penduduk dan banyaknya yang melaksanakan pernikahan, maka peluang dalam perceraian tetap besar.
2. Peradilan Islam dalam penerapan dan penemuan hukum
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sebagaimana di kutip Oleh Cik Hasan Bisri (2000:242), hukum acara adalah “rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Bila di hubungkan dengan PA, berarti hukum acara PA adalah bagaimana cara menyelesaikan masalah hukum Islam (sesuai dengan kekuasaan PA) dalam lingkungan PA.

DAFTAR PUSTAKA
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta: 1985
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia. Prenada Media Group, Jakarta: 2006
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000
_____________, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Remaja Rosdakarya, Bandung: 1997
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia (alih bahasa oleh: Zaini Ahmad Noeh), Intermasa, Jakarta: 1986
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, Jakarta: 1980
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Pustaka Kartini, Jakarta: 1993
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Pradnja Peramita, Jakarta: 1978
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia. Bina Ilmu, Surabaya: 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar